- Home >
- Ahlisunah waljamaah , ASAL USUL , Sekolah ASWAJA >
- SEJARAH PEMIKIRAN TEOLOGI ISLAM
Posted by : farezchaiber.
Wednesday, January 02, 2019
MATERI 01
SEJARAH PEMIKIRAN TEOLOGI ISLAM
Prawacana
Adapun
yang melatar belakangi sejarah munculnya persoalan-persoalan kalam adalah
disebabkan faktor-faktor politik pada awalnya setelah khalifah Ustman terbunuh
kemudian digantikan oleh Ali menjadi khalifah. Peristiwa menyedihkan dalam
sejarah Islam yang sering dinamakan al-Fitnat al-Kubra (Fitnah Besar),
sebagaimana telah banyak dibahas, merupakan pangkal pertumbuhan masyarakat (dan
agama) Islam di berbagai bidang, khususnya bidang-bidang politik, sosial dan
paham keagamaan. Maka Ilmu Kalam sebagai suatu bentuk pengungkapan dan
penalaran paham keagamaan juga hampir secara langsung tumbuh dengan bertitik
tolak dari Fitnah Besar itu.
Pada zaman khalifah Abu Bakar (632-634 M) dan
Umar bin Khattab (634-644) problema keagamaan juga masih relative kecil termasuk
masalah aqidah. Tapi setelah Umar wafat dan Ustman bin Affan naik tahta
(644-656) fitnah pun timbul. Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi asal Yaman yang
mengaku Muslim, salah seorang penyulut pergolakan. Meskipun itu ditiupkan,
Abdullah bin Saba’ pada masa pemerintahan Ustman namun kemelut yang serius
justru terjadi di kalangan Umat Islam setelah Ustman mati terbunuh (656).
Perselisihan di kalangan Umat Islam terus
berlanjut di zaman pemerintahan Ali bin Abi Thalib (656-661) dengan terjadinya
perang saudara, pertama, perang Ali dengan Zubair, Thalhah dan Aisyah yang
dikenal dengan perang jamal, kedua, perang antara Ali dan Muawiyah yang dikenal
dengan perang Shiffin. Pertempuran
dengan Zubair dan kawan-kawan dimenangkan oleh Ali, sedangkan dengan Muawiyah berakhir
dengan tahkim (Arbritrase).
Hal ini berpengaruh pada perkembangan tauhid,
terutama lahir dan tumbuhnya aliran-aliran Teologi dalam Islam. Ketauhidan di
Zaman Bani Umayyah ( 661-750 M ) masalah aqidah menjadi perdebatan yang hangat
di kalangan umat Islam. Di zaman inilah lahir berbagai aliran teologi seperti
Murji’ah, Qadariah, Jabariah dan Mu’tazilah. Pada zaman Bani Abbas ( 750-1258 M
) Filsafat Yunani dan Sains banyak dipelajari Umat Islam. Masalah Tauhid
mendapat tantangan cukup berat. Kaum Muslimin tidak bisa mematahkan argumentasi
filosofis orang lain tanpa mereka menggunakan senjata filsafat dan rasional
pula. Untuk itu bangkitlah Mu’tazilah mempertahankan ketauhidan dengan
argumentasi-argumentasi filosofis tersebut.
Namun sikap Mu’tazilah yang terlalu mengagungkan
akal dan melahirkan berbagai pendapat controversial menyebabkan kaum
tradisional tidak menyukainya. Akhirnya lahir aliran Ahlussunnah Waljama’ah
dengan Tokoh besarnya Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi.
Mula-mula ialah untuk membuat penalaran logis oleh orangorang yang melakukan
pembunuhan ‘Utsm’an atau menyetujui pembunuhan itu. Jika urutan penalaran itu
disederhanakan, maka kira-kira akan berjalan seperti ini: Mengapa ‘Utsman boleh
atau harus dibunuh? Karena ia berbuat dosa besar (berbuat tidak adil dalam
menjalankan pemerintahan) padahal berbuat dosa besar adalah kekafiran. Dan
kekafiran, apalagi kemurtadan (menjadi kafir setelah Muslim), harus dibunuh.
Mengapa perbuatan dosa besar suatu kekafiran? Karena manusia berbuat dosa
besar, seperti kekafiran, adalah sikap menentang Tuhan. Maka harus dibunuh!
Dari jalan pikiran itu, para (bekas) pembunuh ‘Utsman atau pendukung mereka
menjadi cikal-bakal kaum Qadari, yaitu mereka yang berpaham Qadariyyah, suatu
pandangan bahwa manusia mampu menentukan amal perbuatannya, maka manusia mutlak
bertanggung jawab atas segala perbuatannya itu, yang baik dan yang buruk.
Para pembunuh ‘Utsman itu, menurut beberapa
petunjuk kesejarahan, menjadi pendukung kekhalifahan ‘Ali Ibn Abi Thalib,
Khalifah IV. Ini disebutkan, misalnya, oleh Ibn Taymiyyah, sebagai berikut:
Sebagian besar pasukan Ali, begitu pula mereka yang memerangi Ali dan mereka
yang bersikap netral dari peperangan itu bukanlah orang-orang yang membunuh
‘Utsman. Sebaliknya, para pembunuh ‘Utsman itu adalah sekelompok kecil dari
pasukan ‘Ali, sedangkan umat saat kekhalifahan ‘Utsman itu berjumlah dua ratus
ribu orang, dan yang menyetujui pembunuhannya seribu orang sekitar itu. Tetapi
mereka kemudian sangat kecewa kepada ‘Ali, karena Khalifah ini menerima usul
perdamaian dengan musuh mereka, Mu’awiyah ibn Abu Sufyan, dalam “Peristiwa
Shiffin” di situ ‘Ali mengalami kekalahan di plomatis dan kehilangan kekuasaan
“de jure”-nya. Karena itu mereka memisahkan diri dengan membentuk kelompok baru
yang kelak terkenal dengan sebutan kaum Khawarij (al-Kahwarij, kaum Pembelot
atau Pemberontak). Seperti sikap mereka terhadap ‘Utsman, kaum Khawarij juga
memandang ‘Ali dan Mu’awiyah sebagai kafir karena mengkompromikan yang benar
(haqq) dengan yang palsu (bathil). Karena itu mereka merencanakan untuk
membunuh ‘Ali dan Mu’awiyah, juga Amr ibn al-’Ash, gubernur Mesir yang
sekeluarga membantu Mu’awiyah mengalahkan Ali dalam “Peristiwa Shiffin”
tersebut. Tapi kaum Khawarij, melalui seseorang bernama Ibn Muljam, berhasil
membunuh hanya ‘Ali, sedangkan Mu’awiyah hanya mengalami luka-luka, dan ‘Amr
ibn al-’Ash selamat sepenuhnya (tapi mereka membunuh seseorang bernama Kharijah
yang disangka ‘Amr, karena rupanya mirip).
Karena
sikap-sikap mereka yang sangat ekstrem dan eksklusifistik, kaum Khawarij
akhirnya boleh dikatakan binasa. Tetapi dalam perjalanan sejarah pemikiran
Islam, pengaruh mereka tetap saja menjadi pokok problematika pemikiran Islam.
Yang paling banyak mewarisi tradisi pemikiran Khawarij ialah kaum Mu’tazilah.
Mereka inilah sebenarnya kelompok Islam yang paling banyak mengembangkan Ilmu
Kalam seperti yang kita kenal sekarang. Berkenaan dengan Ibn Taymiyyah
mempunyai kutipan yang menarik dari keterangan salah seorang ‘ulama’ yang
disebutnya Imam ‘Abdull’ah ibn al-Mubarak. Menurut Ibn Taymiyyah, sarjana itu
menyatakan demikian: Agama adalah kepunyaan ahli (pengikut) Hadits, kebohongan
kepunyaan kaum Rafidlah, (ilmu) Kalam kepunyaan kaum Mu’tazilah, tipu daya
kepunyaan (pengikut) Ra’y (temuan rasional).
Karena itu ditegaskan oleh Ibn Taymiyyah bahwa
Ilmu Kalam adalah keahlian khusus kaum Mu’tazilah. Maka salah satu ciri
pemikiran Mu’tazili ialah rasionalitas dan paham Qadariyyah. Namun sangat
menarik bahwa yang pertama kali benar-benar menggunakan unsur-unsur Yunani dalam
penalaran keagamaan ialah seseorang bernama Jahm ibn Shafwan yang justru
penganut paham Jabariyyah, yaitu pandangan bahwa manusia tidak berdaya sedikit
pun juga berhadapan dengan kehendak dan ketentuan Tuhan. Jahm mendapatkan bahan
untuk penalaran Jabariyyahnya dari Aristotelianisme, yaitu bagian dari paham
Aristoteles yang mengatakan bahwa Tuhan adalah suatu kekuatan yang serupa
dengan kekuatan alam, yang hanya mengenal keadaan-keadaan umum (universal)
tanpa mengenal keadaan-keadaan khusus (partikular). Maka Tuhan tidak mungkin
memberi pahala dan dosa, dan segala sesuatu yang terjadi, termasuk pada
manusia, adalah seperti perjalanan hukum alam. Hukum alam seperti itu tidak
mengenal pribadi (impersonal) dan bersifat pasti, jadi tak terlawan oleh
manusia. Aristoteles mengingkari adanya Tuhan yang berpribadi personal God.
Baginya Tuhan adalah kekuatan maha dasyat namun
tak berkesadaran kecuali mengenai hal-hal universal. Maka mengikuti Aristoteles
itu Jahm dan para pengikutpya sampai kepada sikap mengingkari adanya sifat bagi
Tuhan, seperti sifat-sifat kasib, pengampun, santun, maha tinggi, pemurah, dan
seterusnya. Bagi mereka, adanya sifat-sifat itu membuat Tuhan menjadi
ganda, jadi
bertentangan dengan konsep Tauhid yang mereka akui sebagai hendak mereka
tegakkan. Golongan yang mengingkari adanya sifat-sifat Tuhan itu dikenal
sebagai al-Nufat (“pengingkar” [sifat-sifat Tuhan]) atau al-Mu’aththilah
(“pembebas” [Tuhan dari sifat-sifat])
Kaum Mu’tazilah menolak paham Jabiriyyah-nya
kaum Jahmi. Kaum Mu’tazilah justru menjadi pembela paham Qadariyyah seperti
halnya kaum Khawarij. Maka kaum Mu’tazilah disebut sebagai “titisan” doktrinal
(namun tanpa gerakan politik) kaum Khawarij. Tetapi kaum Mu’tazilah banyak
mengambil alih sikap kaum Jahmi yang mengingkari sifat-sifat Tuhan itu. Lebih
penting lagi, kaum Mu’tazilah meminjam metologi kaum Jahmi, yaitu penalaran
rasional, meskipun dengan berbagai premis yang berbeda, bahkan berlawanan
(seperti premis kebebasan dan kemampuan manusia). Hal ini ikut membawa kaum
Mu’tazilah kepada penggunaan bahan-bahan Yunani yang dipermudah oleh adanya
membawa kaum Mu’tazilah kepada penggunaan bahan-bahan Yunani yang dipermudah
oleh adanya kegiatan penerjemahan buku-buku Yunani, ditambah dengan buku-buku
Persi dan India, ke dalam bahasa Arab. Kegiatan itu memuncak di bawah
pemerintahan al-Ma’mun ibn Harun al-Rasyid. Penterjemahan itu telah mendorong
munculnya Ahli Kalam dan Falsafa
Khalifah
al-Ma’mun sendiri, di tengah-tengah pertikaian paham berbagai kelompok Islam,
memihak kaum Mu’tazilah melawan kaum Hadits yang dipimpin oleh Ahmad ibn Hanbal
(pendiri mazhab Hanbali, salah satu dari empat mazhab Fiqh). Lebih dari itu, Khalifah
al-Ma’mun, dilanjutkan oleh penggantinya, Khalifah al-Mu’tashim, melakukan
mihnah (pemeriksaan paham pribadi, inquisition), dan menyiksa serta
menjebloskan banyak orang, termasuk Ahmad ibn Hanbal, ke dalam penjara. Salah
satu masalah yang diperselisihkan ialah apakah Kalam atau Sabda Allah, berujud
al-Qur’an, itu qadim (tak terciptakan karena menjadi satu dengan Hakikat atau
Dzat Ilahi) ataukah hadits (terciptakan, karena berbentuk suara yang dinyatakan
dalam huruf dan bahasa Arab)? Khalifah al-Ma’mun dan kaum Mu’tazilah
berpendapat bahwa Kalam Allah itu hadits, sementara kaum Hadits (dalam arti
Sunnah, dan harap diperhatikan perbedaan antara kata-kata hadits [a dengan
topi] dan hadits [i dengan topi]) berpendapat al-Qur’an itu qadim seperti Dzat
Allah sendiri. Pemenjaraan Ahmad ibn Hanbal adalah karena masalah ini.
Mihnah itu memang tidak berlangsung terlalu
lama, dan orang pun bebas kembali. Tetapi ia telah meninggalkan luka yang cukup
dalam pada tubuh pemikiran Islam, yang sampai saat inipun masih banyak
dirasakan orang-orang Muslim. Namun jasa al-Ma’mun dalam membuka pintu
kebebasan berpikir dan ilmu pengetahuan tetap diakui besar sekali dalam sejarah
umat manusia. Maka kekhalifahan al-Ma’mun (198-218 H/813-833 M), dengan
campuran unsur-unsur positif dan negatifnya, dipandang sebagai salah satu
tonggak sejarah perkembangan pemikiran Islam,termasuk perkembangan Ilmu Kalam,
dan juga Falsafah Islam.”
Dalam perkembangan selanjutnya, Ilmu Kalam tidak
lagi menjadi monopoli kaum Mu’tazilah. Adalah seorang sarjana dari kota Basrah
di Irak, bernama Abu al-Hasan al-Asy’ari (260-324 H/873-935 M) yang terdidik
dalam alam pikiran Mu’tazilah (dan kota Basrah memang pusat pemikiran
Mu’tazili). Tetapi kemudian pada usia 40 tahun ia meninggalkan paham
Mu’tazilinya, dan justru mempelopori suatu jenis Ilmu Kalam yang anti
Mu’tazilah. Ilmu Kalam al-Asy’ar’i itu, yang juga sering disebut sebagai paham
Asy’ariyyah, kemudian tumbuh dan berkembang untuk menjadi Ilmu Kalam yang
paling berpengaruh dalam Islam sampai sekarang, karena dianggap paling sah
menurut pandangan sebagian besar kaum Sunni.
Kebanyakan mereka ini kemudian menegaskan bahwa
“jalan keselamatan” hanya didapatkan seseorang yang dalam masalah Kalam
menganut al-Asy’ari. Seorang pemikir lain yang Ilmu Kalam-nya mendapat
pengakuan sama dengan al-Asy’ari ialah Abu Manshur al-Maturidi
(wafat di Samarkand pada 333 H/944 M). Meskipun terdapat sedikit perbedaan
dengan al-Asy ‘ari, khususnya berkenaan dengan teori tentang kebebasan manusia
(al-Maturidi mengajarkan kebebasan manusia yang lebih besar daripada
al-Asy’ari), al-Maturidi dianggap sebagai pahlawan paham Sunni, dan system Ilmu
Kalamnya dipandang sebagai “jalan keselamatan”, bersama dengan sistem
al-Asy’ari. Sangat ilustratif tentang sikap ini adalah pernyataan Haji Muhammad
Shalih ibn ‘Umar Samarani (yang populer dengan sebutan Kiai Saleh Darat dari
daerah dekat Semarang), dengan mengutip dan menafsirkan Sabda nabi dalam sebuah
hadits yang amat terkenal tentang perpecahan umat Islam dan siapa dari mereka
itu yang bakal selamat: (…Umat yang telah lalu telah terpecah-pecah menjadi
tujuh puluh dua golongan, dan kelak kamu semua akan terpecah-pecah menjadi
tujuh puluh tiga golongan, dari antara tujuh puluh tiga itu hanya satu yang
selamat, sedangkan yang tujuh puluh dua semuanya dalam neraka. Adapun yang satu
yang selamat itu ialah mereka yang berkelakuan seperti
Tetapi tak urung konsep kasb al-Asy’ari itu
menjadi sasaran kritik lawan-lawannya. Dan lawan-lawan al-Asy’ari tidak hanya
terdiri dari kaum Mu’tazilah dan Syi’ah (yang dalam Ilmu Kalam banyak mirip
dengan kaum Mu’tazilah), tetapi juga muncul, dari kalangan Ahl al-Sunnah
sendiri, khususnya kaum Hanbali. Dalam hal ini bisa dikemukakan, sebagai
contoh, yaitu pandangan Ibn Taymiyyah (661-728 H/1263-1328 M), seorang tokoh
paling terkemuka dari kalangan kaum Hanbali. Ibn Taymiyyah menilai bahwa dengan
teori kasb-nya itu al-Asy’ari bukannya menengahi antara kaum Jabari dan Qadari,
melainkan lebih mendekati kaum Jabari, bahkan mengarah kepada dukungan terhadap
Jahm ibn Shafwin, teoretikus Jabariyyah yang terkemuka. Dalam ungkapan yang
menggambarkan pertikaian pendapat beberapa golongan di bidang ini, Ibn Taymiyyah
yang nampak lebih cenderung kepada paham Qadariyyah beberapa golongan di bidang
ini, Ibn Taymiyyah yang nampak lebih cenderung kepada paham Qadariyyah
(meskipun ia tentu akan mengingkari penilaian terhadap dirinya seperti itu)
mengatakan demikian: Sesungguhnya para pengikut paham Asy’ari dan sebagian
orang yang menganut paham Qadariyyah telah sependapat dengan al-Jahm ibn
Shafwan dalam prinsip pendapatnya tentang Jabariyyah, meskipun mereka ini
menentangnya secara verbal dan mengemukakan hal-hal yang tidakmasuk akal…
Begitu pula mereka itu berlebihan dalam menentang kaum Mu’tazilah dalam
masalah-masalah Qadariyyah –sehingga kaum Mu’tazilah menuduh mereka ini
pengikut Jabariyyah– dan mereka (kaum Asy’ariyyah) itu mengingkari bahwa
pembawaan dan kemampuan yang ada pada bendabenda bernyawa mempunyai dampak atau
menjadi sebab adanya kejadiankejadian (tindakan-tindakan).
Namun agaknya Ibn Taymiyyah menyadari sepenuhnya
betapa rumit dan tidak sederhananya masalah ini. Maka sementara ia mengkritik
konsep kasb alAsy’ari yang ia sebutkan dirumuskan sebagai “sesuatu perbuatan
yang terwujud pada saat adanya kemampuan yang diciptakan (oleh Tuhan untuk
seseorang) dan perbuatan itu dibarengi dengan kemampuan tersebut” Ibn Taymiyyah
mengangkat bahwa pendapatnya itu disetujui oleh banyak tokoh Sunni, termasuk
Malik, Syafii dan Ibn Hanbal. Namun Ibn Taymiyyah juga mengatakan bahwa konsep
kasb itu dikecam oleh ahli yang lain sebagai salah satu hal yang paling aneh
dalam Ilmu Kalam.
Ilmu Kalam, termasuk yang dikembangkan oleh
al-Asy’ari, juga dikecam kaum Hanbali dari segi metodologinya. Persoalan yang
juga menjadi bahan kontroversi dalam Ilmu Kalam khususnya dan pemahaman Islam
umumnya ialah kedudukan penalaran rasional (‘aql, akal) terhadap keterangan
tekstual (naql, “salinan” atau “kutipan”), baik dari Kitab Suci maupun Sunnah
Nabi. Kaum “liberal”, seperti golongan Mut’azilah,cenderung mendahulukan akal,
dan kaum “konservatif” khususnya kaum Hanbali, cenderung mendahulukan naql.
Terkait dengan persoalan ini ialah masalah interprestasi (ta’wil), sebagaimana
telah kita bahas. Berkenaan dengan
masalah ini, metode al-Asy’ari cenderung mendahulukan naql dengan
membolehkan interprestasi dalam hal-hal yang memang tidak menyediakan jalan
lain. Atau mengunci dengan ungkapan “bi la kayfa” (tanpa bagaimana) untuk
pensifatan Tuhan yang bernada antropomorfis (tajsim) – menggambarkan Tuhan
seperti manusia, misalnya, bertangan, wajah, dan lain-lain. Metode al-Asy’ari
ini sangat dihargai, dan merupakan unsur kesuksesan sistemnya.Tetapi
bagian-bagian lain dari metodologi al-Asy’ari, juga epistemologinya, banyak
dikecam oleh kaum Hanbali. Di mata mereka, seperti halnya dengan Ilmu Kalam
kaum Mu’tazilah, Ilmu Kalam al-Asy’ari pun banyak menggunakan unsur-unsur
filsafat Yunani, khususnya logika (manthiq)
Aristoteles. Dalam penglihatan Ibn Taymiyyah, logika Aritoteles bertolak dari
premis yang salah, yaitu premis tentang kulliyyat
(universals) atau al-musytarak al-muthlaq
(pengertian umum mutlak), yang bagi Ibn Taymiyyah tidak ada dalam kenyataan,
hanya ada dalam pikiran manusia saja karena tidak lebih daripada hasil ta’aqqul
(intelektualisasi).
Demikian
pula konsep-konsep Aristoteles yang lain, seperti kategorikategori yang sepuluh
(esensi, kualitas, kuantitas, relasi, lokasi, waktu, situasi, posesi, aksi, dan
pasi), juga konsep-konsep tentang genus, spesi, aksiden, properti, dan
lain-lain, ditolak oleh Ibn Taymiyyah sebagai basil intelektualisasi yang tidak
ada kenyataannya di dunia luas. Maka terkenal sekali ucapan Ibn Taymiyyah bahwa
“hakikat ada di alam kenyataan (di luar), tidak dalam alam pikiran” (Al-haqiqah fi al-ayan, la fi al-adzhan).
Sejarah
Teologi Islam
Ilmu kalam lahir sebab polemik hebat antara
sesama umat Islam sendiri, ataupun antara umat Islam dengan pemeluk agama lain.
Keretakan ini sesunguhnya sudah mulai terbentuk setelah Rasul wafat, akan
tetapi membesar secara cepat pada masa pemerintahan khalifah ketiga yakni
Utsman bin Affan dan berpuncak pada peristiwa keputusan, yaitu upaya penyelesaian
sengketa antara Ali ibn Thalib dan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan pada perang Siffin. Peristiwa Tahkim inilah yang
kemudian melahirkan aliran atau madhab dalam ilmu kalam (teologi).
Dalam konteks ini, Harun Nasution menyimpulkan
bahwa kemunculan persoalan kalam dipicu oleh persoalan politik. Sikap Ali yang
menerima tahkim (arbitrase) pada
perang Siffin tersebut memunculkan ketidakpuasan pihak pasukan Ali ibn Thalib
dan keluar dari barisannya. Mereka berpendapat bahwa persoalan yang terjadi
pada saat itu tidak dapat diputuskan melalui tahkim dan menuduh Ali ibn Thalib telah melakukan dosa besar.
Mereka itu dipelopori oleh Asy’ts ibn Qayis yang dalam perkembangan sekanjutnya
mereka itu disebut Khawarij. (Harun Nasution, 1986:31) Selain pasukan yang
membelot Ali ibn Abi Thalib pada perang Siffin,
ada pula sebagian besar yang tetap mendukung Ali. Menurut Watt, kelompok inilah
yang kemudian memunculkan kelompok Syi’ah. (W.Montgomery Watt, 1987:10)
Khawarij, dianggap sebagai kelompok politik pertama yang kemudian
memunculkan persoalan teologi ketika kaum Khawarij mempersoalkan siapa yang
kafir di kalangan kaum Muslimin dan siapa yang bukan kafir. Khawarij menghukumi
orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim sebagai orang yang kafir
kerena telah melakukan dosa besar. (Harun Nasution, 1986:3)
Sebagai
reaksi dari fatwa khawarij ini sebagai umat Islam yang dipelopori oleh Ghailan
Dimasqy, tidak meneruma akan fatwa tersebut. Mereka ini dalam perkembangan
selanjutnya menjadi mazhab Murji’ah. Menurut mereka, karena fatwa itu tidak
didukung oleh nash, maka kepastian hukumnya ditunda saja, diserahkan kepada
Allah di akhirat kelak. (W.Montgomery Watt, 1987:21)
Secara
spesifik kelompok yang dapat disebut sebagai mazhab kalam atau teologi pertama
terdapat pada Qadariyah dan Jabariah. Mazhab Qadariyah didirikan oleh Ma’bad
ibn Khalid al-Juhani (79H/699M). Mazhab ini berpandangan bahwa manusia mampu
berbuat dan karena itu bertanggung jawab atas perbuatannya. Ayat-ayat al-Qur’an
seperti tangan Tuhan, Tuhan melihat, dan mendengar dipahami secara ta’wil atau
qiyas, dan bukan ditafsirkan secara harfiah.(Ahmad Amin, 1942:284)
Paham
Qadariyah mendapat perlawanan dari
paham Jabariyah yang dipelopori oleh
Jahm ibn Shafwan (127H/745M). Pandangan utama paham ini adalah bahwa semua
perbuatan manusia ditentukan oleh kuasa Tuhan termasuk keimanan, kebajikan dan
kejahatnnya. Manusia dalam hal ini tergantung dari kekuasaan atau paksaan Allah
dalam segala kehendak dan perbuatannya; kerena itu tidak ada kekuasaan manusia
untuk melakukan pilihan atas segala perbuatannya.(Asy-Syahrastani, tt: 85).
Sementara persoalan dosa besar yang
diperdebatkan antara Khawarij dan Murji’ah kemudian dilanjutkan oleh Mu’tazilah
yang dipelopori oleh Wasil ibn Atho’. Mu’tazilah inilah, menurut Nurcholis
Madjid, sebagai pelopor yang sungguh-sunggguh digiatkannya pemikiran tentang
ajaran-ajaran pokok Islam secara lebih sistematis. Paham mereka amat rasional
sehingga mereka dikenal sebagai paham rasionalis Islam. Sikap rasionalik ini
dimulai dari titik tolak bahwa akal mempunyai kedudukan tinggi bahkan
kedudukannya boleh dikatakan sama dengan wahyu dalam memahami agama.(Nurcholis
Madjid, tt:21).
Aliran
Mu’tazilah yang bercorak rasional mendapat tantangan keras dari golongan
tradisiona Islam, terutama golongan Hanbai, yaitu pengikut-pengikut mazhab ibn
Hambal. Mereka yang menentang ini kemudian mengambil bentuk aliran teologi
tradisonal yang dipelopori Abu Al-Hasan Al-Asy’ari (w. 324H/935M).(Abdurrahman
Badawi, 1984:497) Disamping aliran Asy’ariyah, timbul pula suatu aliran di
Samarkand yang juga bermaksud menentang aliran Mu’tazilah. Aliran ini didirikan
oleh Abu Mansur Muhammad Al-Maturidi (w.333H/944M). Aliran ini kemudian
terkenal dengan nama teologi Al-Maturudiyah.(H.AR. Gibb, 1960:414)
Pengertian
Teologi Islam
Teologi Islam merupakan istilah lain dari ilmu
kalam, yang diambil dari bahasa Inggris, theology.
Ilmu kalam ini oleh berbagai pakar diistilahkan beragam nama, antara lain: Abu
Hanifah (w.150H/767M) memberinya nama
dengan istilah ‘Ilmu Figh al-Akbar.(Mustofa,1959:265)
Imam Syafi’ie (w.204/819M), Imam Malik (w.179H/795M), dan Imam Jakfar as-Sadiq
(148H/765M) memberinya nama ‘Ilmu Kalam,
dengan istilah tokohnya Mutakallimin.
Imam As-Asy’ari (w.324H/935M), al-Bagdady (w.429H/1037M), dan beberapa tokoh
al-Azhar University memberinya nama dengan istilah ‘Ilmu Ushul al-Din. Al-Thahawi (w.331H/942M), al-Ghazali (w.505H/1111M)
al-Thusi (w.671H/1272M), dan al-Iji (w.756H/1355M) memberinya nama dengan
istilah ‘Ilmu al-Aqa’id. Abdu
al-Jabbar (w.415H/1024M) memberinya nama dengan istilah ‘Ilmu al-Nadhar wa al-Istidlal. Al-Taftazani memberinya nama dengan
istilah ‘Ilmu al-Tauhid.(M.Abdel
Haleem, 1996:74-75) Harry Austyn Wolfson memberi nama dengan istilah The philosophy of Kalam. (Harry Sustyn
Waolfson, 1976: th) Ahmad Mahmud Shubhy memberinya
nama dengan istilah ‘Ilmi Kalam. M.
Abdel Haleem memberi nama dengan istilah Speculative
Theology. (M.Abdel Haleem, 1996:74-75) CA Qadir memberi nama dengan istilah Dialectica Teology.(C A Qadir, 1989:46)
Sementara itu Harun Nasution (w.1998 M) memberi nama dengan istilah Teologi
Islam. (Harun Nasution, 1986:31)
Berkenaan dengan itu, terdapat para pakar yang
mendefinisikan Ilmu Kalam sebagai discourse
or reason concerning God (diskursus atau pemikiran tentang Tuhan) (William
L Resse, 1980:28) Bahkan dengan
mengutip istilah yang diberikan oleh William Ochkam, L Resse menyatakan bahwa “Theology to be a discipline resting on
revealed truth an independent of both philosophy
and science”. (Teologi merupakan sebuah disiplin ilmu yang meletakkan
kebenaran wahyu, lewat argumen
filsafat dan ilmu pengetahuan yang independen). (William L. Resse, 1980:28-29)
Dengan nada yang hampir sama Ibn Kaldun yang menyatakan bahwa teologi atau
kalam adalah ilmu yang menggunakan bukti-bukti logis dalam mempertahankan
akidah keimanan dan menolak pembaharu yang menyimpang dalam dogma yang dianut
kaum muslimin pertama dan ortodok Muslim.(Ibn Kaldun, 2001:589)
Dengan demikian, secara singkat tauhid berisi
pembahasan teoritik menyangkut sistem keyakinan, sistem kepercayaan (kredo) dan
struktur akidah kaum Muslim berdasarkan rasio dan wahyu. Tujuan akhir ilmu ini
adalah pembenaran terhadap akidah Islam serta meneguhkan keimanan dengan
keyakinan. Karena itu, Tauhid memiliki posisi penting dalam mekanisme
keberagamaan umat Islam, karena berisi pokok-pokok ajaran yang sifatnya
mendasar, atau— meminjam bahasa Hanafi—karena mengkaji obyek yang paling mulia,
yaitu Allah.
Dari
uraian pemikiran-pemikiran kalam diatas setidak-tidaknya kita dapat menunjukkan
terhadap doktrin-doktrin teologi Islam yang kalau di rangkum sebagai berikut:
1. Kebebasan dalam berkehendak (Free Will)
Membahas masalah perbuatan manusia, yang
menyangkut penegasan apakah itu merupakan suatu tindakan yang ditentukan oleh manusia
ataukah di ikuti oleh campur tangan Tuhan. Disini al-Asy’ari telah mengeluarkan
pendapatnya bahwa semua tindak-tanduk manusia adalah ciptaan Tuhan, sedangkan
manusia hanya memiliki upaya (al-kasb)
untuk bertindak. Atau dengan kata lain al-Asy’ari telah membedakan antara al-Khaliq dan al-kasb. Hingga berkesimpulan bahwa segala sesuatu itu tidak
memiliki pengaruh apapun secara dzatiah nya akan tetapi yang memiliki pengaruh
haqiqi dari semua itu hanyalah Allah swt.(Abu Al-Hasan Al-Asy’ari, 1903:9) Berbeda
dengan Mu’tazilah yang mengatakan bahwa semua perbuatan manusia yang bersifat al-Ikhtiariyah berasal dari manusia itu
sendiri akan tetapi bergantung pada kekuasaan Allah terhadap hamba-Nya. Disini
posisi manusia adalah sebagai pemilih dan bukanlah penentu. Karena Allah telah
menganugerahkan manusia akal agar dapat membedakan antara yang baik dan yang
buruk, lalu mengutus Rasul-Nya agar dapat memberikan petunjuk kepada manusia
akan apa yang diperintahkan dan dilarang Allah kepada seluruh umat manusia.(Abdul
Al-jabbar bin Ahmad, 1965:227) Jabariyah dalam hal ini berpendapat bahwa
manusia adalah penentu dan bukan pemilih, tetapi semuanya tetap ciptaan Allah.
2. Melihat Allah
Perdebatan sengit antara al-Asy’ari dengan kaum
ortodoks ekstrim terutama Dzahiriyah yang berpendapat bahwa Allah bisa dilihat
dan Allah bersemayam di Arsy’ memanglah cukup menggemparkan. Ditambah lagi
dengan ketidak setujuannya terhadap paham Mu’tazillah yang ternyata berkata
lain. Mu’tazilah berpendapat bahwa Allah tidak mungkin dapat dilihat di dunia
maupun di akhirat.(Yusuf,1990:92-3) Sedangkan al-Asy’ari menyatakan
kepercayaannya bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi dengan tata cara
yang tidak dapat diketahui secara logika dan hanya Allah lah yang
mengetahuinya. Sebagaimana ilmu tentang keadaan akhirat yang ghoib, maka tidak
akan ada satu orang pun yang mampu menerangkannya. Al-Asy’ari kembali
menegaskan bahwa Allah dapat (jaiz)
dilihat oleh para mukmin di dunia dan wajib untuk terlihat bagi para mukmin
yang masuk ke dalam surga-Nya. (Al-Asy’ari, 1903:9)
3. Tuhan dan sifat-sifat-Nya
Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan
ekstrim. Dengan kelompok Mujasimah (antropomorfis)
dan kelompok Musyabbihah yang
berpendapat, Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan
sunnah, dan sifat-sifat itu harus difahami menurut arti harfiyahnya. Kelompok
mutazilah berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain adalah
esensi-esensinya. (Asy-Syahrastani, 1990: 46). Sementara Al-Asy’ari snediri
berpendapat bahwa sifat-sifat yang dimiliki oleh Allah bukanlah esensinya dan
juga bukan berarti keluar dari esensi tersebut. Ia memiliki sifat yang melebihi
segalanya dan berdiri bersama dengan zat itu sendiri tanpa ada satupun yang
dapat menyetarakan-Nya. (C A Qadir, 1991:67-8)
4. Akal dan wahyu dan kriteria Baik dan Buruk
Walaupun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah
mengakui pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan
yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari
mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilah mengutamakan akal. (C A Qadir, 1991:
70). Dalam menetukan baik burukpun terjadi perbedaan pendapat di antara mereka.
Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu,
sedangkan Mu’tazilah mendasarkan pada akal. (Asy-Syahrastani, 1990: 115).
5. Qadimnya Al-Qur’an
Mu’tazilah mengatakan bahwa Al-Qur’an merupakan
sesuatu yang diciptakan (makhluk dan muhdits) sehingga dia tidak qadim.
Sedangkan pandangan mazhab Hambali tidak mengatakan apapun yang menyatakan
bahwa Al-Qur’an adalah qadim akan tetapi menegaskan bahwa ia adalah kalam Allah
yang tidak diciptakan. Madzhab ini pun lantas menolak segala bentuk penambahan
atau perincian maupun penentuan yang bersangkutan dengan hal tersebut.
Al-Zahiriyah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata dan bunyi Al-Qur’an
adalah qadim. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan
itu al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Qur’an terdiri atas kata-kata,
huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak
qadim. (C A Qadir, 1991: 70)
6. Keadilan Tuhan
Pada dasarnya al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil.
Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak
sependapat dengan Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga ia
harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat
baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah
penguasa mutlak. Dengan demikian, jelasnya bahwa Mu’tazilah mengartikan
keadilan dari visi manusia yang memiliki dirinya, sedang Al-Asy’ari dari visi
bahwa Allah adalah pemilik mutlak.
7. Kedudukan orang berdosa
Menurut al-Asy’ari mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang
fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur. Al-Asy’ari
menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu’tazilah. Bagi Al-Asy’ari keimanan
merupakan lawan dari pada kekufuran, jadi predikat bagi seseorang haruslah
salah satu di antaranya. Sementara Mu’tazilah beranggapan bahwa orang yang
berdosa besar akan berada pada posisi antara dua posisi (baina manzilatain). (Abdul Al-Qadir Al-Bagdadi, tt:351)
Kerangka
Berfikir aliaran-aliran Kalam
Perbedaan
metode berfikir secara garis besar dapat dikategorikan menjadi dua macam, yaitu
kerangka berfikir rasional dan kerangka berfikir tradisional.Metode berfikir
rasional memiliki prinsip-prinsip berikut ini:
§
Hanya terikat pada dogma-dogma yang dengan jelas
dan tegas di sebut dalam Al-Qur’an dan Hadist Nabi, yakni ayat yang gathi
(terpenulisng tidak boleh disamakan dengan arti lain)
§ Memberikan kebebasan kepada manusia dalam
berbuat dan berkehendak
§ Memberikan daya yang kuat kepada akal.
Adapun metode berfikir tradisional memiliki
prinsip-prinsip berikut ini :
§ Terikat pada dogma-dogma
dan ayat-ayat yang mengandung arti Zhanni (terpenulisng boleh mengandung arti
lain).
§ Tidak memberikan kebebasan kepada manusia dalam
berkehendak dan berbuat.
§ Memberikan daya yang kecil kepada akal.
Aliran yang sering di sebut-sebut memiliki cara
berfikir teologi rasional adalah mu’tazilah dan adapun yang sering
disebut-sebut memiliki metode berfikir tradisional adalah Asy’ariyah. Disamping
pengategorian teologi rasioanl dan tradisional dikenal pula pengkategorian
akibat adanya perbedaan kerangka berfikir dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan kalam.:
1.
Aliran Antroposentris
Aliran antroposentris menganggap bahwa hakikat
realitas transenden bersifat intrakosmos dan impersonal. Ia berhubungan erat
dengan masyarakat kosmos baik ang natural maupun yang supra natural dalam arti
unsurt-unsurnya. Manusia adalah anak kosmos. Unsur supranatural dalam dirinya
merupakan sumber kekuatannya. Tugas manusia adalah melepaskan unsure natural
yang jahat. Dengan demikian, manusia harus mampu menghapus kepribadian
kemanusiannya untuk meraih kemerdekaan dari lilitan naturalnya. Manusia
antroposentris sangat dinamis karena menganggap hakekat realitas transenden
yang bersifat intrakosmos dan inpersonal dating kepada manusia dalam bentuk
daya sejak manusia lahir. Daya ini berupa potensi yang menjadikannya mampu
membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. Manusia yang memilih kebaikan
akan memperileh keuntungan melimpah (surge), sedangkan manusia yang memilih
kejahatan, ia akan memperoleh kerugian melimpah pula (neraka). Dengan dayanya,
manusia mempunyai kebebasan mutlak tanpa campur tangan realitas transenden.
Aliran teologi yang termasuk dalam katagori ini adalah Qadariyah, Mu’tazilah
dan Syi’ah.
2.
Teolog Teosentris
Aliran teosentris menganggap bahwa hakikat
realitas transenden bersifat Suprakosmos, personal dan ketuhanan, Tuhan adalah
pencipta segala sesuatu yang ada di kosmos ini dengan segala kekuasaan-Nya,
mampu berbuat apa saja secara mutlak dan manusia adalah ciptaan-Nya sehingga
harus berkarya hanya untuk-Nya. Manusia teosentris adalah manusia statis karena
sering terjebak dalam kepasrahan mutlak kepada tuhan. Bagianya, segala
sesuatu/perbuatanya pada hakikatnya adalah aktiitas tuhan. Ia tidak mempunyai
ketetapan lain, kecuali apa yang telah ditetapkan Tuhan. Aliran teosentris menganggap
daya yang menjadi potensi perbuatan baik atau jahat bisa datang sewaktu-waktu
dari Tuhan. Aliran ini yang tegolong kategori Jabbariyah.
3.
Aliran Konvergensi Sintesis
Aliran konvergensi menganggap hakikat Realitas
transenden besifat supra sekaligus intrekosms, personal dan impersonal, lahut
dan nashut, makhluk dan tuhan saying dan jahat, lenyao dan abadi, tampak dan
abstrak dan sifat lain yang di kotomik. Aliran konvergensi memandang bahwa pada
dasarnya segala sesuatu itu selalu berada dalam abmbiu (serba ganda) baik
secara subtansial maupun formal. Aliran ini juga berkeyakinan bahwa daya
manusia merupakan proses kerja sama antara daya yang transedental (Tuhan) dalam
bentuk kebijasanaan dan daya temporal (manusia) dalam bentuk teknis. Kebahagian
bagi para penganut aliran konvergensi, terletak pada kemampuanya membuat
pendalam agar selalu berada tidak jauh kekanan atau kekiri tetapi tetap
ditengah-tengah antara berbagai ekstrimitas aliran teolog yang dapat di
masukkan ke dalam kategori ini adalah Asy’ariyah.
4.
Aliran Nihilis
Aliran
Nihilis menganggap bahwa hakekat realitas transcendental hanyalah ilusi. Aliran
ini pun menolak tuhan yang mutlak, tetapi menerima berbagai variasi tuhan
kosmos. Kekuatan terletak pada kecerdikan diri sendiri manusia sendiri sehingga
mampu melakukan yang terbaik dari tawaran yang tebutuk. Idealnya manusia
mempunyai kebahagian besifat fisik yang merupakan titik sentral perjuangan
seluruh manusia.
Kritik
atas Teologi Islam Klasik
Kalau kita perhatikan bahasan tentang
doktrin-doktrin teologi Islam klasik itu adalah trend teosentris. Tuhan dan Ketuhanan (theos) menjadi core teologisnya.
Dengan perumusan diskursus terutama
pada Tuhan dan ketuhanan, sudah barang tentu teologi semacam itu (hanya)
relevan sebagai alas struktur dari religiusitas yang “membela” Tuhan, bukan
manusia. Untuk konteks zaman pertengahan Hijriyah, ketika era formatis Islam
masih berlangsung, boleh jadi masih menemuni signifikansinya. Namun, untuk
kontek saat, tatkala dunia telah bergerak maju kearah dunia modern yang
ditandai oleh kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, maka tidak
dapat dielakkan lagi untuk merekontruksi teologi Islam yang asalnya membela
Tuhan (teosentris) menuju
keberpihakan kepada kemanusiaan (antroposentri)
sebagai suatu rangka pikir untuk memahami kenyataan sekaligus suatu motivasi
religius untuk membalik-mengubanya menjadi lebih baik.
Kritik terhadap Teologi Islam klasik telah
banyak disuarakan oleh para pemikir Islam salah satunya adalah Hasan Hanafi,
jauh-jauh hari telah menawarkan rekontruksi teologi Islam ke arah
Antroposentrisme. Menurut Hanafi, sejarah Islam tentang teologi kenyataannya
telah jauh menyimpang dari misinya yang paling awal dan mendasar, yaitu
liberasi atau emansipasi umat manusia. Rumusan klasik di bidang teologi yang
kita warisi dari para pendahulu Muslim pada hakikatnya tidak lebih dari
sekumpulan diskursus keagamaan yang kering dan tidak punya kaitan apapun dengan
fakta-fakta nyata kemanusiaan. Paradigma teologi klasik yang ditinggalkan para
pendahulu hanyalah sebentuk ajaran langitan, wacana teoritis murni,
abstrak-spekulatif, elitis dan statis; jauh sekali dari kenyataan-kenyataan
sosial kemasyarakatan. Padahal, semangat awal dan misi paling mendasar dari
gagasan teologi Islam (Tauhid)
sebagaimana tercermin di masa Nabi saw. sangatlah liberatif, progresif,
emansipatif dan revolutif. (Hassan Hanafi, tt: 205)
Menurut Fazkur Rahman, teologi atau berteologi
haruslah dapat menumbuhkan moralitas atau sistem nilai etika untuk membimbing
dan menanamkan dalam diri manusia agar memiliki tanggung jawab moral, yang
dalam Al-Qur’an disebut taqwa. Secara pasti teologi Islam merupakan usaha
intelektual yang memberi penuturan koheren dan setia dengan isi yang ada
dalam
Al-Qur’an. Teologi harus mempunyai kegunaan dalam agama apabila teologi itu
fungsional dalam kehidupan agama. Disebut fungsional sejauh teologi tersebut
dapat memberikan kedamaian intelektual dan spritual bagi umat manusia serta
dapat diajarkan pada umat. (Romas, 2000:82)
Dalam perspektif perkembangan masyarakat modern
dan postmodern, Islah harus mampu meletakkan landasan pemecahan terhadap
problem kemanusiaan (kemiskinan, ketidakadilan, hak asasi manusia,
ketidakberdayaan perempuan dan sebagainya). Teologi yang fungsional adalah
teologi yang memenuhi panggilan tersebut, bersentuhan dan berdialok, sekaligus
menunjukkan jalan keluar terhadap berbagai persoalan empirik kemanusiaan.
Berangkat dari hal itu, Amim Abdullah berasumsi
bahwa tantangan kalam atau teologi Islam kontemporer adalah isu-isu kemanusiaan
universal, pluralisme keberagamaan, kemiskinan struktural, kerusakan
lingkungan, dan sebagainya. Teologi, dalam agama apapun yang hanya berbicara
tentang Tuhan (teosentris) dan tidak
mengkaitkan diskursusnya dengan persoalan-persoalan kemanusiaan universal (antroposentris), memilki rumusan
teologis yang lambat laun akan menjadi out
of date. Algur’an sendiri hampir dalam setiap diskursusnya selalu menyentuh
dimensi kemanusiaan universal. (Amin Abdullah, 1995: 36)
Seharusnya teologi dan kalam yang hidup untuk era sekarang ini berdialog
dengan realitas dan perkembangan pemikiran yang berjalan saat ini. Bukan
teologi yang berdialok dengan masa lalu, apalagi masa silam yang terlalu jauh.
Teologi Islam kontemporer tidak dapat tidak harus memahami perkembangan
pemikiran manusia kontemporer yang diakibatkan oleh perubahan sosial yang
dibawa oleh arus ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kalau kita analisis terdapat tiga kelemahan yang dimiliki oleh
pembahasan teologi Islam klasik diantaranya. Pertama, Persoalan manusia, alam dan sejarah. Selama ini, yang
ditonjolkan oleh ilmu kalam selalu saja pembahasan abstrak seputar eksistensi
Tuhan, atribut-atribut yang melekat kepada-Nya, eksistensi malaikat,
artikel-artikel eskatologis, kenabian, dan ha-hal teoritik lain yang tidak
berkorelasi dengan kenyataan yang terjadi. Wacana kalam klasik tidak lagi
mamiliki hubungan harmonis dengan kenyataan riil kemanusiaan. Dan ini adalah
distorsi besar-besaran terhadap sejarah dan ajaran Islam, karena sebelumnya
teologi sangat lekat dengan antropologi.
Kedua, eksistensi
teologi Islam tradisional dalam paradigmanya yang spekulatif, teoritik, elitik, statis dan kehilangan daya
dorong sosial serta momentum perlawanannya. Selama ini artikel-artikel teologi
klasik hanya penuh dengan refleksi keimanan murni; menggambarkan keimanan
sema-mata dan tidak berkaitan dengan kemanusiaan nyata. Gaya pembahasan seperti
ini sangat berbahaya, sesuatu yang tak berarti dan hampa makna.
Ketiga, paradigma teologi klasik
Islam sudah saatnya diperbaharui (reformasi), dipahami ulang (rekonstruksi) dan dirumuskan kembali (reformulasi) dalam
modelnya yang baru dan progresif, karena sudah tidak relevan dengan tuntutan
modernitas, gerak sejarah dan dinamika perkembangan zaman.
Bertolak dari kelemahan-kelemahan ilmu kalam di
atas, tampaknya dekontruksi terhadap ilmu ini merupakan sebuah keniscayaan. Dekontruksi
tidak hanya berarti membongkar kontruksi yang sudah ada. Didalam dekontruksi
tetap diperlukan usaha-usaha yang mengiringinya, yaitu merekontruksi apa yang
seharusnya merupakan tuntutan baru. Tujuan dekontruksi adalah melakukan “demitologisasi” konsep atau
pandangan-pandangan yang ada, yang telah menjadi “teks sakral” dan mitos
keilmuan dalam dunia Islam. Untuk mencapai itu, perlu dilakukan pembongkaran
melalui gagasan kritis dan mendasarkan tipe rasionalitas yang seharusnya
menjadi
alas ilmu
tersebut, serta secara modern menilai kembali wahyu sebagai gejala budaya dan
sejarah yang komplek.
Pada titik ini, Hasan Hanafi melihat perlunya
pergeseran paradigma dari yang bercorak tradisional, yang bersandar pada
paradigma logico-metafisika
(dialektika kata-kata), kearah teologi yang mendasarkan pada paradigma “empiris” (dialektika sosial politik).
Teologi bukan tentang ilmu semata, tetapi menjadi ilmu kalam (ilmu tentang
analisis kalam atau ucapan semata dan juga sebagai konteks ucapan, yang
berkaitan dengan pengertian yang mengacu pada iman). Jadi, teologi adalah juga
antropologi dan hermeneutika.
Sebagai hermenuetika, teologi berarti
suatu teori pemahaman tentang proses
wahyu dari huruf sampai ketingkat kenyataan, dari logos ke praktis, dan juga transformatika wahyu dari “pikiran”
Tuhan kedalam kehidupan manusia. Untuk itu, diperlukan “kesadaran historis”
yang menentukan keaslian teks dan tingkat kepastiannya; “kesadaran eidetik”,
yang menjelaskan makna teks menjadi rasional; dan “kesadaran praktis” yang
menggunakan makna tersebut sebagai dasar teoretik tindakan dan mengantarkan
wahyu pada tujuan akhir dalam kehidupan manusia didunia. (Romas, 2000:18-9)
Rekonstruksi
Teologi Islam Klasik
Urgensi dari penghadiran suatu kontruk teologi
yang bersifat transformatik dan membebaskan bertolak pada tujuan utama di
syari’atkan Islam pada dasarnya adalah revolusi kemanusiaan dan ide-ide pembebasan
merupakan salah satu tema pokok dalam Islam. Ide-ide tersebut adalah al-’adalah (keadilan), al-musawamah (egalitarianisme,
kesetaraan;persamaan derajat), dan al-hurriyah
(kebebasan). Tiga ide tersebut dalam konteks teologi yang transformatif perlu
adanya rekonstruksi atau redefinisi makna teologi. Selama ini teologi lazim
dimaknai sebagai suatu diskursus seputar Tuhan. Namun, dalam kerangka paradigma
transformatif, teologi semestinya tidak lagi difahami (semata-mata) sebagaimana
pemaknaan yang dikenal dalam wacana kalam klasik itu, yakni suatu diskursus
tentang Tuhan yang sangat teosentris, yang secara etimologi merujuk pada akar
kata theos dan logos. Ia seharusnya dimaknai dan dipahami sebagai sungguh-sunguh
ilmu kalam, ilmu tentang perkataan. Tuhan dalam hal itu tercermin dalam kata logoly, sebab person Tuhan tidaklah
tunduk ada ilmu. (Hasan Hanafi, 1991:45)
Gagasan tentang reformasi (atau rekonstruksi)
teologi tradisional diperlukan untuk mengubah orientasi perangkat konseptual
sistem kepercayaan sesuai dengan perubahan konteks sosial politik yang terjadi.
Teologi tradisional Islam lahir dalam konteks sejarah ketika inti sistem
kepercayaan Islam, yaitu Transendensi Tuhan diserang oleh wakil-wakil dari
sekte-sekte dan budaya-budaya kuno. Teologi dimaksudkan untuk mempertahankan
doktrin utama dan untuk memelihara kemurnian iman. Dialektika berasal dari
dialog dan mengandung pengertian saling menolak; hanya merupakan dialektika
kata-kata, bukan konsep-konsep tentang alam, manusia, masyarakat atau sejarah.
Sekarang ini konteks sosial politik telah berubah. Islam mengalami berbagai
kekalahan di berbagai medan pertempuran sepanjang periode kolonisasi. Karena
itu, kerangka konseptual lama masa-masa permulaan, yang berasal dari kebudayaan
klasik harus dirubah menjadi kerangka konseptual baru, yang berasal dari
kebudayaan modern.
Menurut Hanafi, sebagai ilmu perkataan, teologi merupakan ilmu tentang
analisis percakapan, dan sebagai bentuk ucapan sekaligus sebagai konteks, ia
adalah pengertian yang mendasarkan diri pada iman. Karena itu teologi,
sebagaimana antropologi, juga bermakna ilmu-ilmu tentang manusia, merupakan
tujuan perkataan sekaligus sebagai analisis perkataan. Hasilnya, teologi
merupakan ilmu kemanusiaan dan bukan ilmu ketuhanan.(Hasan Hanafi, 1991:46)
Untuk menghasilkan teologis yang bercorak antroposentrisme, maka
diperlukan redefinisi teologi dengan cara merusmuskan ulang konsep-konsep
(doktrinal) teologis agar sejalan dengan semangat pembebasan Islam itu sendiri.
Pada prinsipnya, reformulasi ini merupakan suatu proses reflektif-kritis secara
teologis yang berlandaskan hasil pemaknaan teks (al-Qur’an dan hadits) dan
pemahaman konteks kekinian (realitas aktual-faktual). Dalam hal ini,
setidaknya, terdapat tiga konsep teologis yang medesak di rekontruksi agar
berpihak pada paradigma antroposentrisme. Ketiga konsep tersebut adalah:
1.
Konsep Tauhid.
Pada dasarnya konsep ini merupakan doktrin pokok
dalam keseluruhan teologi Islam klasik. Pada teologi Islam klasik terdapat
dialektika antara kebebasan manusia (free
will, free act) seperti di gagas teologi-teologi rasional dan ketentuan
mutlak diluar manusia (predestinasi Tuhan)
sebagaimana sebagaimana diidekan teologi-teologi tradisional. Untuk memahami
konsep tauhid yang lebih mengarah pada antroposentisme maka kita perlu
melakukan redefinisi teologi tersebut. Menurut Hanafi, gagasan tauhid tidak
lagi dimengerti sebagai ajaran tentang keesaan Tuhan, melainkan dipahami
sebagai “kesatuan pribadi manusia, yang jauh dari prilaku dualistik seperti
hipokrisi [munafik] dan perilaku oportunistik. Pikiran, perasaan, dan perkataan
adalah identik dengan tindakan. Tauhid berarti pula kesatuan sosial, yaitu
masyarakat tanpa kelas; tanpa kelas kaya dan miskin. Tauhid juga memiliki makna
kesatuan kemanusiaan tanpa diskriminasi rasial apapun, tanpa perbedaan ekonomi,
tanpa perbedaan antara masyarakat berkembang dan maju. (Hasan Hanafi, 1991:31)
Oleh sebab itu tauhid harus dipahami dan diyakini sebagai penggambaran adanya unity of godhead (kesatuan ketuhanan). Keyakinan atas kesatuan ketuhanan
menghasilkan konsep selanjutnya yaitu
unity of creation (kesatuan
penciptaan). Dalam konteks sosial-hirisontal, kesatuan penciptaan itu memberi
suatu keyakinan asanya unity of mankink
(kesatuan kemanusiaan). Kesadaran teologis akan kesatuan kemanusiaan menegaskan
bahwa tauhid menolak segenap
penindasan atas kemanusiaan. Dalam konteks Islam, kesatuan kemanusiaan itu
menghendaki adanya kesatuan pedoman hidup (al-Qur’an dan hadits) bagi
orang-orang Mukmin. Dengan demikian tauhid
secara konseptual memberi arahan kepada adanya kesatuan tujuan hidup, bergerak
menuju muara tunggal, Allah swt. (M. Amin Rais, 1998:109-10)
Pemahaman tauhid
sedemikian tidak hanya diarahkan secara vertikal untuk membebaskan manusia dari
ketersesatan dalam bertuhan, tetapi juga secara sosial-horisontal dikehendaki
berperan sebagai teologi yang membebaskan manusia agar terlepas dari seluruh
anasir penindasan. Cita pembebasam manusia dari ketertindasan, karena itu,
merupakan saah satu ‘aqidah iahiyah.
Elaborasi lebih jauh dari pemahaman tauhid semacam ini menuntut pula redefinisi
terhadap entitas makna iman, nilai kufr dan sebutan kafir, dan pada akhirnya reposisi entitas makna Islam dan Musim
searah dengan kepentingan praksis pembebasan.
2.
Konsep Keadilan Sosial.
Konsep keadilan
merupakan doktrin yang diperbincangkan oleh teologi Islam kasik. Dalam
diskursus teologi Islam klasik tema tersebut cenderung terfokus semata pada
perbincangan soal-soal keadilan Tuhan (al-’adl).
Konsep keadilan Tuhan yang diwacanakan oleh teologi Islam klasik terlalu
membela Tuhan, padahal menurut Hanafi teologi dapat berperan sebagai suatu
ideologi pembebasan bagi yang tertindas atau sebagai suatu pembenaran
penjajahan oleh para penindas. Teologi memberikan fungsi legitimatif bagi
setiap perjuangan kepentingan dari masing-masing lapisan masyarakat yang
berbeda. (Hasan Hanafi, 1991:46)
Berangkat dari situlah, maka konsep keadilan Tuhan (a-’adl) perlu direkontruksi dan redefinisi pada konsep keadilan
sosial. Pengedepanan konsep ini bertolak dari kesadaran bahwa ketidakadian
sosial (kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, ekploitasi, diskriminasi, dan
dehumanisasi) merupakan produk dari suatu proses sosial lewat struktur dan
sistem yang tidak adil, yang terjadi antaran proses sejarah manusia. Artinya
realitas sosial yang tidak adil bukanlah takdir Tuhan (predestination) seperti umumnya diyakini teologi-teologi
tradisional, melainkan hasil dari proses sejarah yang disengaja. Bukan pula
hanya akibat “ada yang salah dalam bangunan mentalitas-budaya manusia”, seperti
keyakinan teologi-teologi rasional, melainkan imbas langsung dari
diselenggarakannya sistem dan struktur yang tidak adil, eksploitatuf, dan
menindas.
3.
Konsep Spirituaitas Pembebasan.
Konsep ini merupakan konkretisasi dari proses refleksi kritis atas
realitas manusia (umat) di satu sisi dan atas tujuan utama Islam sebagai agama
pembebasan di sisi lain. Pembebasan (liberation,
tahrir) dalam kerangka spiritualitas tidak hanya diarahkan pada
struktur-sistem yang menindas, tetapi juga secara terus menerus pada upaya
membebaskan manusia dari hegemoni wacana tertentu berupa produk pemikiran
keagamaan tertentu, misalnya spriritualitas ini harus senantiasa mengambil
tempat dan peran aktif dalam proses kontektuaisasi teks-teks keagamaan atas
konteks kekinian.
Pengenaan spiritualitas pembebasan itu secara khusus bertujuan agar
aspek relligius dari gagasan teologi dimaksud tidak hilang sekaligus
eternalitas nilai-nilai trandensinya tak terabaikan. Oleh sebab itu, selain
menumpukan diri pada gagasan al-amr bi
al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar, ia juga menekankan pada pemaknaan
kontekstual dengan realitas kekinian (segenap bentuk social malaise).
Akhirnya, di wilayah praktis, aktualisasi atau manifestasi teologi reformatif
ini membutuhkan keterlibatan aktif dari kaum tertindas sendiri. Tanpa itu, bisa
dipastikan ia akan gagal menjadi motivasi religius yang betul-betul
transformatif dan berdaya membebaskan. Pelibatan aktif mereka itu terlepas
model menejemen gerakan apapun yang pada akhirnya diambil.
GANTI HALAMA