- Home >
- Ahlisunah waljamaah , materi wajib pmii >
- ASWAJA(Ahlus Sunnah Wal Jama'ah
Posted by : farezchaiber.
Saturday, November 03, 2018
Makna Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Akan tetapi sunnah adalah apa yangp datang dari Nabi baik berupa syariat, agama, petunjuk yang lahir maupun yang bathin, kemudian dilakukan oleh sahabat, tabiin dan pengikutnya sampai hari Kiamat.
Dengan demikian definisi Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan sunnah para shahabatnya. Sehingga Imam Ibnul Jauzi berkata,” Tidak diragukan bahwa orang yang mengikuti atsar (sunnah) Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya adalah Ahlus Sunnah” (Lihat Talbisul Iblis hal. 16)
Sedangkan kata ”Al Jama’ah” artinya bersama atau berkumpul. Dinamakan demikian karena mereka bersama dan berkumpul dalam kebenaran, mengamalkannya dan mereka tidak mengambil teladan kecuali dari para sahabat, tabiin dan ulama–ulama yang mengamalkan sunnah sampai hari kiamat. Karena merekalah orang-orang yang paling memahami agama yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.
Namun yang perlu digaris-bawahi di sini adalah bahwa Al Jama’ah adalah orang-orang yang berada di atas kebenaran, bukan pada jumlahnya.
Jumlah yang banyak tidak menjadi patokan kebenaran, bahkan Allah Ta’ala berfirman yang artinya: ”Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah” [Al An’am: 116]. Sehingga benarlah apa yang dikatakan Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu: “Al-Jama’ah adalah yang mengikuti kebenaran walaupun engkau sendirian” (Syarah Usuhul I’tiqaad Al Laalika-i no. 160).
Ringkasnya, Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah orang-orang yang mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya, dan dalam memahami dan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tersebut mereka meneladani praktek dan pemahaman para sahabat, tabi’in dan orang yang mengikuti mereka.
Dan makna ini sesuai dengan apa yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tentang satu golongan yang selamat pada hadits di atas: ”yaitu orang-orang yang berada pada jalanku dan jalannya para sahabatku dihari ini”.
Pemahaman Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Mungkin setelah dijelaskan makna Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, sebagian orang masih rancu tentang siapakah sebenarnya mereka itu. Karena semua muslim, dari yang paling ’alim hingga yang paling awamnya, dari yang benar hingga yang paling menyimpang akan mengaku bahwa ia berjalan di atas jalannya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya. Maka dalam kitab Ushul Aqidah Ahlis Sunnah, Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhahullah menjelaskan bahwa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dapat dikenal dengan dua indikator umum:
Ahlus Sunnah berpegang teguh terhadap sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, berbeda dengan golongan lain yang beragama dengan berdasar pada akal, perasaan, hawa nafsu, taqlid buta atau ikut-ikutan saja.
Ahlus Sunnah mencintai Al Jama’ah, yaitu persatuan ummat di atas kebenaran serta membenci perpecahan dan semangat kekelompokan (hizbiyyah). Berbeda dengan golongan lain yang gemar berkelompok-kelompok, membawa bendera-bendera hizbiyyah dan bangga dengan label-label kelompoknya.
Perlu diketahui juga bahwa istilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah muncul untuk membedakan ajaran Islam yang masih murni dan lurus dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dengan ajaran Islam yang sudah tercampur dengan pemikiran-pemikiran menyimpang seperti pemikiran Jahmiyah, Qodariyah, Syi’ah dan Khawarij.
Sehingga orang-orang yang masih berpegang teguh pada ajaran Islam yang masih murni tersebut dinamakan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Imam Malik rahimahullah pernah ditanya :
“Siapakah Ahlus Sunnah itu?
Ia menjawab:
Ahlus Sunnah itu mereka yang tidak mempunyai laqb (julukan) yang sudah terkenal. Yakni bukan Jahmiyah, bukan Qadariyah, dan bukan pula Syi’ah”. (Lihat Al-Intiqa fi Fadlailits Tsalatsatil Aimmatil Fuqaha. hal.35 oleh Ibnu Abdil Barr).
Walaupun pada kenyataannya orang-orang yang berpemikiran menyimpang tersebut, seperti Jahmiyah, Qodariyah, Syi’ah dan Khawarij juga sebagian mengaku sebagai Ahlus Sunnah. Sehingga hal ini memicu para Imam Ahlus Sunnah untuk menjelaskan poin-poin pemahaman Ahlus Sunnah, agar umat dapat menyaring pemahaman-pemahaman yang tidak sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah.
Salah satunya dari Imam Ahlus Sunnah yang merinci poin-poin tersebut adalah Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah dalam kitabnya Ushul As Sunnah. Secara ringkas, poin-poin yang dijelaskan Imam Ahmad tentang pemahaman Ahlus Sunnah Wal Jama’ah diantaranya adalah:
Beriman kepada takdir Allah,
Beriman bahwa Al Qur’an adalah Kalamullah (perkataan Allah), bukan makhluk dan bukan perkataan makhluk,
Beriman tentang adanya mizan (timbangan) di hari Kiamat, yang akan menimbang amal manusia,
Beriman bahwa Allah ‘Azza Wa Jalla akan berbicara dengan hamba-Nya di hari Kiamat,
Beriman tentang adanya adzab kubur dan adanya pertanyaan malaikat di dalam kubur,
Beriman tentang adanya syafa’at Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bagi ummat beliau
Beriman bahwa Dajjal akan muncul,
Beriman bahwa iman seseorang itu tidak hanya keyakinan namun juga mencakup perkataan dan perbuatan, dan iman bisa naik dan turun,
Beriman bahwa orang yang meninggalkan shalat dapat terjerumus dalam kekufuran,
Patuh dan taat pada penguasa yang muslim, baik shalih mau fajir (banyak bermaksiat). Selama ia masih menjalankan shalat dan kepatuhan hanya pada hal yang tidak melanggar syariat saja,
Tidak memberontak kepada penguasa muslim,
Beriman bahwa tidak boleh menetapkan seorang muslim pasti masuk surga atau pasti masuk neraka,
Beriman bahwa seorang muslim yang mati dalam keadaan melakukan dosa tetap disholatkan, baik dosanya kecil atau besar.
Jangan salah membatasi
Imam Al Barbahari berkata:
”Ketahuilah bahwa ajaran Islam itu adalah sunnah dan sunnah itu adalah Islam” (Lihat Syarhus Sunnah, no 2).
Maka pada hakikatnya pemahaman Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah Islam itu sendiri dan ajaran Islam yang hakiki adalah pemahaman Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Maka Ahlus Sunnah adalah setiap orang Islam dimana saja berada yang mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dengan pemahaman para sahabatnya.
Jika demikian, sungguh keliru sebagian orang yang membatasi Ahlus Sunnah dengan batas-batas yang serampangan.
Telah keliru orang yang membatasi Ahlus Sunnah dengan suatu kelompok atau organisasi tertentu, seperti perkataan:’Ahlus Sunnah adalah NU’ atau ’Ahlus Sunnah adalah Muhammadiyah’.
Telah salah orang yang membatasi Ahlus Sunnah dengan majlis ta’lim atau ustadz tertentu dengan berkata:
’Ahlus Sunnah adalah yang mengaji di masjid A’ atau ’Ahlus Sunnah adalah yang mengaji dengan ustadz B’.
Keliru pula orang yang membatasi dengan penampilan tertentu, misalnya dengan berkata:
’Ahlus Sunnah adalah yang memakai gamis, celana ngatung dan berjenggot lebat. Yang tidak demikian bukan Ahlus Sunnah’.
Tidak benar pula membatasi Ahlus Sunnah dengan fiqih misalnya dengan berkata
’Yang shalat shubuh pakai Qunut bukan Ahlus Sunnah’ atau ’Orang yang shalatnya memakai sutrah (pembatas) dia Ahlus Sunnah, yang tidak pakai bukan Ahlus Sunnah’.
Dan banyak lagi kesalah-pahaman tentang Ahlus Sunnah di tengah masyarakat sehingga istilah Ahlus Sunnah mereka tempelkan pada kelompok-kelompok mereka untuk mengunggulkan kelompoknya dan berfanatik buta terhadap kelompoknya.
Adapun Ahlus Sunnah yang sejati tidak sibuk dengan label dan pengakuan, serta benci dengan semangat kekelompokkan.
Sebagaimana perkataan Ibnu Qoyyim Al Jauziyah tentang Ahlus Sunnah:
”Sesuatu yang tidak mempunyai nama kecuali Ahlus Sunnah” (Lihat Madarijus Salikin III/174).
Bahkan seorang Ahlus Sunnah menyibukkan diri dengan menerapkan sunnah dalam setiap aspek kehidupannya.
Dan tidak ada gunanya seseorang mengaku-ngaku Ahlus Sunnah, sementara ia sibuk dengan melakukan bid’ah dan hal-hal yang bertentangan dengan sunnah.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya
”Sesungguhnya Rabb-mu lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia juga lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk” [An Najm: 30].
Semoga Allah Ta’ala senantiasa menunjukkan kita kepada jalan yang lurus, yaitu jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang diberikan ni’mat, bukan jalannya orang-orang yang dimurkai dan orang-orang tersesat. [Yulian Purnama
Dalam kegiatan mapaba, salah satu materi yang diberikan adalah mengenai nilai-nilai aswaja. Nilai-nilai aswaja terdiri dari 4 macam, yaitu;
Sedangkan kata ”Al Jama’ah” artinya bersama atau berkumpul. Dinamakan demikian karena mereka bersama dan berkumpul dalam kebenaran, mengamalkannya dan mereka tidak mengambil teladan kecuali dari para sahabat, tabiin dan ulama–ulama yang mengamalkan sunnah sampai hari kiamat. Karena merekalah orang-orang yang paling memahami agama yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.
Namun yang perlu digaris-bawahi di sini adalah bahwa Al Jama’ah adalah orang-orang yang berada di atas kebenaran, bukan pada jumlahnya.
Jumlah yang banyak tidak menjadi patokan kebenaran, bahkan Allah Ta’ala berfirman yang artinya: ”Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah” [Al An’am: 116]. Sehingga benarlah apa yang dikatakan Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu: “Al-Jama’ah adalah yang mengikuti kebenaran walaupun engkau sendirian” (Syarah Usuhul I’tiqaad Al Laalika-i no. 160).
Ringkasnya, Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah orang-orang yang mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya, dan dalam memahami dan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tersebut mereka meneladani praktek dan pemahaman para sahabat, tabi’in dan orang yang mengikuti mereka.
Dan makna ini sesuai dengan apa yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tentang satu golongan yang selamat pada hadits di atas: ”yaitu orang-orang yang berada pada jalanku dan jalannya para sahabatku dihari ini”.
Pemahaman Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Mungkin setelah dijelaskan makna Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, sebagian orang masih rancu tentang siapakah sebenarnya mereka itu. Karena semua muslim, dari yang paling ’alim hingga yang paling awamnya, dari yang benar hingga yang paling menyimpang akan mengaku bahwa ia berjalan di atas jalannya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya. Maka dalam kitab Ushul Aqidah Ahlis Sunnah, Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhahullah menjelaskan bahwa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dapat dikenal dengan dua indikator umum:
Ahlus Sunnah berpegang teguh terhadap sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, berbeda dengan golongan lain yang beragama dengan berdasar pada akal, perasaan, hawa nafsu, taqlid buta atau ikut-ikutan saja.
Ahlus Sunnah mencintai Al Jama’ah, yaitu persatuan ummat di atas kebenaran serta membenci perpecahan dan semangat kekelompokan (hizbiyyah). Berbeda dengan golongan lain yang gemar berkelompok-kelompok, membawa bendera-bendera hizbiyyah dan bangga dengan label-label kelompoknya.
Perlu diketahui juga bahwa istilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah muncul untuk membedakan ajaran Islam yang masih murni dan lurus dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dengan ajaran Islam yang sudah tercampur dengan pemikiran-pemikiran menyimpang seperti pemikiran Jahmiyah, Qodariyah, Syi’ah dan Khawarij.
Sehingga orang-orang yang masih berpegang teguh pada ajaran Islam yang masih murni tersebut dinamakan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Imam Malik rahimahullah pernah ditanya :
“Siapakah Ahlus Sunnah itu?
Ia menjawab:
Ahlus Sunnah itu mereka yang tidak mempunyai laqb (julukan) yang sudah terkenal. Yakni bukan Jahmiyah, bukan Qadariyah, dan bukan pula Syi’ah”. (Lihat Al-Intiqa fi Fadlailits Tsalatsatil Aimmatil Fuqaha. hal.35 oleh Ibnu Abdil Barr).
Walaupun pada kenyataannya orang-orang yang berpemikiran menyimpang tersebut, seperti Jahmiyah, Qodariyah, Syi’ah dan Khawarij juga sebagian mengaku sebagai Ahlus Sunnah. Sehingga hal ini memicu para Imam Ahlus Sunnah untuk menjelaskan poin-poin pemahaman Ahlus Sunnah, agar umat dapat menyaring pemahaman-pemahaman yang tidak sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah.
Salah satunya dari Imam Ahlus Sunnah yang merinci poin-poin tersebut adalah Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah dalam kitabnya Ushul As Sunnah. Secara ringkas, poin-poin yang dijelaskan Imam Ahmad tentang pemahaman Ahlus Sunnah Wal Jama’ah diantaranya adalah:
Beriman kepada takdir Allah,
Beriman bahwa Al Qur’an adalah Kalamullah (perkataan Allah), bukan makhluk dan bukan perkataan makhluk,
Beriman tentang adanya mizan (timbangan) di hari Kiamat, yang akan menimbang amal manusia,
Beriman bahwa Allah ‘Azza Wa Jalla akan berbicara dengan hamba-Nya di hari Kiamat,
Beriman tentang adanya adzab kubur dan adanya pertanyaan malaikat di dalam kubur,
Beriman tentang adanya syafa’at Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bagi ummat beliau
Beriman bahwa Dajjal akan muncul,
Beriman bahwa iman seseorang itu tidak hanya keyakinan namun juga mencakup perkataan dan perbuatan, dan iman bisa naik dan turun,
Beriman bahwa orang yang meninggalkan shalat dapat terjerumus dalam kekufuran,
Patuh dan taat pada penguasa yang muslim, baik shalih mau fajir (banyak bermaksiat). Selama ia masih menjalankan shalat dan kepatuhan hanya pada hal yang tidak melanggar syariat saja,
Tidak memberontak kepada penguasa muslim,
Beriman bahwa tidak boleh menetapkan seorang muslim pasti masuk surga atau pasti masuk neraka,
Beriman bahwa seorang muslim yang mati dalam keadaan melakukan dosa tetap disholatkan, baik dosanya kecil atau besar.
Jangan salah membatasi
Imam Al Barbahari berkata:
”Ketahuilah bahwa ajaran Islam itu adalah sunnah dan sunnah itu adalah Islam” (Lihat Syarhus Sunnah, no 2).
Maka pada hakikatnya pemahaman Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah Islam itu sendiri dan ajaran Islam yang hakiki adalah pemahaman Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Maka Ahlus Sunnah adalah setiap orang Islam dimana saja berada yang mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dengan pemahaman para sahabatnya.
Jika demikian, sungguh keliru sebagian orang yang membatasi Ahlus Sunnah dengan batas-batas yang serampangan.
Telah keliru orang yang membatasi Ahlus Sunnah dengan suatu kelompok atau organisasi tertentu, seperti perkataan:’Ahlus Sunnah adalah NU’ atau ’Ahlus Sunnah adalah Muhammadiyah’.
Telah salah orang yang membatasi Ahlus Sunnah dengan majlis ta’lim atau ustadz tertentu dengan berkata:
’Ahlus Sunnah adalah yang mengaji di masjid A’ atau ’Ahlus Sunnah adalah yang mengaji dengan ustadz B’.
Keliru pula orang yang membatasi dengan penampilan tertentu, misalnya dengan berkata:
’Ahlus Sunnah adalah yang memakai gamis, celana ngatung dan berjenggot lebat. Yang tidak demikian bukan Ahlus Sunnah’.
Tidak benar pula membatasi Ahlus Sunnah dengan fiqih misalnya dengan berkata
’Yang shalat shubuh pakai Qunut bukan Ahlus Sunnah’ atau ’Orang yang shalatnya memakai sutrah (pembatas) dia Ahlus Sunnah, yang tidak pakai bukan Ahlus Sunnah’.
Dan banyak lagi kesalah-pahaman tentang Ahlus Sunnah di tengah masyarakat sehingga istilah Ahlus Sunnah mereka tempelkan pada kelompok-kelompok mereka untuk mengunggulkan kelompoknya dan berfanatik buta terhadap kelompoknya.
Adapun Ahlus Sunnah yang sejati tidak sibuk dengan label dan pengakuan, serta benci dengan semangat kekelompokkan.
Sebagaimana perkataan Ibnu Qoyyim Al Jauziyah tentang Ahlus Sunnah:
”Sesuatu yang tidak mempunyai nama kecuali Ahlus Sunnah” (Lihat Madarijus Salikin III/174).
Bahkan seorang Ahlus Sunnah menyibukkan diri dengan menerapkan sunnah dalam setiap aspek kehidupannya.
Dan tidak ada gunanya seseorang mengaku-ngaku Ahlus Sunnah, sementara ia sibuk dengan melakukan bid’ah dan hal-hal yang bertentangan dengan sunnah.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya
”Sesungguhnya Rabb-mu lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia juga lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk” [An Najm: 30].
Semoga Allah Ta’ala senantiasa menunjukkan kita kepada jalan yang lurus, yaitu jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang diberikan ni’mat, bukan jalannya orang-orang yang dimurkai dan orang-orang tersesat. [Yulian Purnama
Dalam kegiatan mapaba, salah satu materi yang diberikan adalah mengenai nilai-nilai aswaja. Nilai-nilai aswaja terdiri dari 4 macam, yaitu;
1). Tawasuth (Moderat)
Tawasuth adalah sebuah sikap tengah yang tidak cenderung ke kanan atau ke kiri. Sikap tengah yang berintikan kepada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah–tengah kehidupan bersama dan tidak ekstrim.
kebalikan dari tawasuth yaitu tatharruf, ekstrim, berlebih-lebihan. Misalnya, pada zaman sekarang kita banyak melihat tren baju syar’i dan menggunakan niqab. Orang awam banyak yang ikut-ikutan berpakaian dengan cara tersebut. Padahal pakaian yang mereka pakai itu panjangnya sampai jatuh ke lantai sehingga menjadikan pakaian tersebut najis. Itu yang dimaksud tatharruf atau berlebihan. Sikap tersebut dilarang dalam agama Islam. Karakter at-tawasuth ini harus mampu diwujudkan dalam berbagai bidang, agar nantinya sikap dan tingkah laku umat Islam dapat dijadikan sebagai teladan dan ukuran manusia pada umumnya. Nahdlatul Ulama dengan sikap dasar ini akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat ekstrim.
2). Tawazun (Berimbang)
Tawazun adalah sikap berimbang dalam menghadapi persoalan atau pertimbangan-pertimbangan untuk mencetuskan sebuah keputusan. Dalam konteks pemikiran, tawazunmenghindari sikap tatharruf. Tawazun sangat erat hubungannya dengan peraturan (manage) waktu agar dapat mencapai tujuan yang ingin dicapainya. Misalnya, kita belajar di UIN Malang bukan hanya sebagai mahasiswa, tapi sekaligus mahasantri Ma’had Sunan Ampel al-Aly yang memiliki kewajiban-kewajiban selain belajar di kuliah reguler. Kita juga belajar ta’lim di ma’had. Kegiatan di ma’had lebih banyak dibanding kegiatan kampus. Terlebih bagi mahasiswa tahfidz yang harus bertanggung jawab dengan ayat-ayat yang telah dihafalnya. Mereka harus pandai me-manage waktu semaksimal mungkin untuk mencapai target yang ingin dicapainya. Bukan hanya mendapatkan nilai yang baik di kampus, tapi mereka juga mendapatkan nilai yang memuaskan di ta’lim ma’hadnya dan bisa murajaah hafalannya dengan lancar.
4).Ta’adul (Netral dan Adil)
Ta’adul ialah sikap adil dalam menyikapi suatu persoalan. Adil adalah sikap proporsional dalam menyikapi persoalan berdasarkan hak dan kewajiban. Ta’adul merupakan sikap yang bernilai tinggi, baik, dan mulia. Apabila Ta’adul diwujudkan dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, serta bangsa dan negara, sudah tentu ketinggian, kebaikan, dan kemuliaan akan diraih. Jika seseorang mampu mewujudkan keadilan dalam dirinya sendiri, tentu akan meraih keberhasilan dalam hidupnya, memperoleh kegembiraan batin, disenangi banyak orang, dapat meningkatkan kualitas diri, dan memperoleh kesejahteraan hidup duniawi serta ukhrawi (akhirat). Cara membiasakan diri bersikap ta’adul yaitu dengan cara menyadari pentingnya keadilan dalam kehidupan. Saya pernah mengalami kebimbangan antara diajak teman yang sejak SD sampai sekarang untuk pergi makan berdua karena kami sudah lama tidak bertemu. Di sisi lain, saya diajak teman yang baru saya kenal satu semester ini untuk menemani dia sowan ke Pak Kyai sore itu juga. Akhirnya saya memilih menemani teman saya sowan ke Pak Kyai terlebih dahulu karena lebih mendesak. Baru kemudian saya menemani makan teman SD saya.
Tasamuh (Toleransi)
Tasamuh ialah sikap toleran terhadap perbedaan, baik agama, pemikiran, keyakinan, sosial kemasyarakatan, budaya, dan berbagai perbedaan lain. Istilah Toleransi dalam konteks sosial budaya dan agama berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok atau golongan yang berbeda dalam suatu masyarakat. Islam sebuah agama yang mengajarkan kepada umat manusia untuk selalu menghormati serta toleransi terhadap sesama dan menjaga kesucian serta kebenaran ajaran Islam. Dengan ini, fakta telah membuktikan bahwa Islam merupakan agama yang mengajarkan hidup toleransi terhadap semua agama. Dalam keadaan apapun dan kapan saja, Islam sebagai agama Rahmatal Lil’alamin senantiasa menghargai dan menghormati perbedaan, baik perbedaan suku, bangsa, dan keyakinan. Hal sangat ini jelas, bahwa Islam selalu memberikan kebebasan berbicara dan toleransi terhadap semua pemeluk agama dan berkeyakinan serta rasa hormat bagi umat manusia, tampa membeda-bedakan satu sama lain. Contoh dari toleransi yang pernah saya alami adalah saya pernah berkunjung ke rumah relasi kerja ayah saya yang beragama Katolik ketika Hari Natal. Kedatangan saya sekeluarga disambut penuh kebahagian seperti kami sedang merayakan natal bersama.
Oleh karena itu,
PMII memaknai Aswaja sebagai;
1. Manhajul fikr yaitu sebagai sebuah metode berpikir yang digariskan oleh para sahabat Nabi dan tabi’in yang begitu erat kaitannya dengan situasi politik dan kondisi sosial yang meliputi masyarakat muslim waktu itu. Baik cara mereka menyikapi berbagai kemelut perbedaan antar keyakinan atau dalam memahami keruhnya konstelasi politik, yang kesemua itu berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan yang terselubung dalam makna ASWAJA. Dari manhajul fikr ini kemudian lahir pemikiran-pemikiran keislaman baik di bidang aqidah, syari’ah, maupun akhlaq/tasawuf, yang binneka tunggal ika dalam ruh yang sama.
2. Manhaj taghayyur al-ijtima’i yaitu sebuah pola perubahan sosial-kemasyarakatan yang sesuai dengan ruh perjuangan rasulullah dan para sahabatnya. Untuk memahami pola perubahan ini dibutuhkan pemahaman akan perjalanan sejarah kebudayaan islam yang nantinya terurai dalam materi pendalaman tentang ASWAJA
Dari pemahaman diatas, pada pokoknya pemahaman Aswaja baik sebagai metode berpikir (manhajul fikr) maupun pola perubahan sosial (manhaj taghayyur al-ijtima’i) adalah sesuai dengan sabda Rasulullah yang mengatakan bahwa: ma ana ‘alaihi wa ashabi (segala sesuatu yang datang dari rasul dan para sahabatnya) yaitu metode berpikir dan pola perubahan sosial yang diusung, yang sebenarnya berlandaskan pada beberapa nilai berikut : moderat (tawassuth), toleran (tasamuh), keseimbangan (tawazun), dan keadilan (ta’adul )
1. Manhajul fikr yaitu sebagai sebuah metode berpikir yang digariskan oleh para sahabat Nabi dan tabi’in yang begitu erat kaitannya dengan situasi politik dan kondisi sosial yang meliputi masyarakat muslim waktu itu. Baik cara mereka menyikapi berbagai kemelut perbedaan antar keyakinan atau dalam memahami keruhnya konstelasi politik, yang kesemua itu berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan yang terselubung dalam makna ASWAJA. Dari manhajul fikr ini kemudian lahir pemikiran-pemikiran keislaman baik di bidang aqidah, syari’ah, maupun akhlaq/tasawuf, yang binneka tunggal ika dalam ruh yang sama.
2. Manhaj taghayyur al-ijtima’i yaitu sebuah pola perubahan sosial-kemasyarakatan yang sesuai dengan ruh perjuangan rasulullah dan para sahabatnya. Untuk memahami pola perubahan ini dibutuhkan pemahaman akan perjalanan sejarah kebudayaan islam yang nantinya terurai dalam materi pendalaman tentang ASWAJA
Dari pemahaman diatas, pada pokoknya pemahaman Aswaja baik sebagai metode berpikir (manhajul fikr) maupun pola perubahan sosial (manhaj taghayyur al-ijtima’i) adalah sesuai dengan sabda Rasulullah yang mengatakan bahwa: ma ana ‘alaihi wa ashabi (segala sesuatu yang datang dari rasul dan para sahabatnya) yaitu metode berpikir dan pola perubahan sosial yang diusung, yang sebenarnya berlandaskan pada beberapa nilai berikut : moderat (tawassuth), toleran (tasamuh), keseimbangan (tawazun), dan keadilan (ta’adul )
GANTI HALAMA