- Home >
- Ahlisunah waljamaah , Sekolah ASWAJA >
- ALIRAN PEMIKIRAN DALAM TEOLOGI ISLAM
Posted by : farezchaiber.
Wednesday, January 02, 2019
MATERI 02
ALIRAN PEMIKIRAN DALAM TEOLOGI ISLAM
1.
Khawarij
a. Asal
Usul dan Sejarah Khawarij
Kata
khawarij secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yaitu kharaja yang berarti
keluar, muncul, timbul atau memberontak. Syahrastani mengartikan khawarij sebagai
kelompok masyarakat yang memberontak dan tidak mengakui terhadap imam yang sah
dan sudah disepakati oleh kaum muslimin, baik pada masa sahabat, pada masa
tabiin maupun pada masa sesudahnya. Namun, menurut Harun Nasution ada pula
pendapat yang mengatakan bahwa nama khawarij diberikan atas surat an-Nisa ayat
100 yang didalamnya disebutkan : “Keluar dari rumah lari kepada Allah dan
Rasul-Nya”. Dengan demikian kaum khawarij memandang diri mereka sebagai orang
yang meninggalkan rumah dari kampung halamannya untuk men gabdikan diri kepada
Allah dan RasulNya.
Selain
itu mereka menyebut diri mereka Syurah, yang berasal dari kata Yasyiri
(Menjual), sebagaimana disebutkan dalam Al-Baqarah ayat 207: “Ada manusia yang
menjual dirinya untuk keridhaan Allah”. Nama lain yang diberikan kepada mereka
adalah Haruriah, dari kata harura, suatu desa didekat kufah, Irak. Di tempat
inilah, mereka yang pada waktu itu berjumlah dua belas ribu orang berkumpul
setelah memisahkan diri dari Ali. Disini mereka memilih ‘Abdullah bin abdul
wahab al-Rasyidi menjadi imam sebagai ganti dari Ali bin Abi Thalib. Dalam
pertempuran dengan Ali mereka mengalami kekalahan besar, tetapi seorang
khawarij bernama Abd al-Rahman Ibn Muljam dapat membunuh Ali.
Khawarij
merupakan kelompok pertama yang tidak mengakui bahkan memberontak terhadap Ali
Bin Abi Thalib setelah terjadinya Arbitrase antara Ali dan Muawiyah. Pada
mulanya, kelompok ini berjuang di pihak Ali ketika terjadi perang siffin antara
Ali dan Muawiayah dan kelompok inilah yang mendukung Ali untuk melakukan
Arbitrase dengan Muawiyah. Namun setelah Ali dan Muawiyah melakukan arbitrase,
kelompok ini menolak kesepakatan arbitrase dan keluar dari kelompok Ali.
Sebelumnya, menurut sebagian pendapat, Ali
sebenarnya mencium adanya tipu daya dibalik ajakan perundingan damai tersebut
sehingga ia bermaksud menolak permintaan itu. Namun, karena desakan sebagian
pengikutnya, terutama Ahl-Qurra. Dengan sangat terpaksa Ali menerima permintaan
perjanjian damai tersebut. Dalam perundingan damai tersebut, Ali mengutus
Abdullah bin Abbas sebagai delegasi juru damai (Hakam)nya, tetapi orang
khawarij menolaknya. Mereka beralasan bahwa Abdullah bin Abbas berasal dari
kelompoknya Ali sendiri. Kemudian mereka mengusulkan agar Ali mengirim Abu Musa
al Asy’ary dengan harapan yang dapat memutuskan perkara berdasarkan Kitabullah.
Keputusan tahkim menurut riwayat, yakni Ali diberhentikan jabatannya sebagai
khalifah oleh utusannya dan mengangkat Muawiyah sebagai Khalifah sangat
mengecewakan orang-orang Khawarij. Mereka membelot dengan mengatakan, “Mengapa
kalian berhukum kepada manusia, Tidak ada hukum selain hukum disisi Allah.” Ali
r.a menjawab,” Ini adalah ungkapan yang benar, tetapi mereka artikan dengan
keliru.” Pada saat itulah orang-orang khawarij keluar dari pasukan Ali r.a dan
menuju Harura. Itulah sebabnya, khawarij disebut sebagai Haruriah. Dengan
Arahan Abdullah Al-Kiwa, mereka sampai di Harura. Di Harura, kelompok Khawarij
ini melanjutkan perlawanan terhadap Muawiyah dan juga kepada Ali. Mereka
mengangkat seorang pemimpin bernama Abdullah bin Shahab Ar-Rasyibi.
Kadang-kadang mereka disebut dengan Syurah dan Al Mariqoh.
Gerakan
khawarij berpusat di dua tempat. Yaitu di Bathaih yang menguasai dan mengontrol
kaum khawarij yang berada di Persia dan sekeliling Irak. Tokoh-tokohnya ialah
Nafi’ Bin Azraq, Qathar bin Faja’ah. Lainnya bermarkas di Arab daratan yang
menguasai kaum khawarij yang berada di Yaman, Hadlaramaut, dan Thaif.
Tokoh-tokohnya ialah Abu Thaluf, Najdar bin Amri, dan Abu Fudaika.
b.
Doktrin-doktrin pokok Khawarij
Diantara doktrin-doktrin pokok Khawarij adalah
berikut ini. Khalifah atau Imam harus dipilih secara bebas oleh kaum Muslimin;
Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab. Siapapun berhak menjadi
khalifah apabila memenuhi syarat; Khalifah dipilih secara permanen selama yang
bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syariat Islam. Ia harus dijatuhkan
bahkan dibunuh kalau melakukan kezaliman; Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar,
Umar, dan Utsman) adalah sah. Tetapi setelah tahun ketujuh dari masa
kekhalifahannya, Utsman r.a dianggap telah menyeleweng; Khalifah Ali adalah
sah, tetapi setelah adanya Arbitrase, ia dianggap telah menyeleweng; Muawaiyah
dan Amr bin Ash serta Abu Musa Al-As’ary juga telah dianggap menyeleweng dan
telah menjadi kafir; Pasukan perang jamal yang telah melawan Ali juga Kafir;
Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus dibunuh.
Yang lebih parah, mereka menganggap bahwa seorang muslim dapat menjadi kafir
apabila ia tidak mau membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan
resiko ia menanggung beban harus dilenyapkan pula; Setiap muslim harus
berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka. Bila tidak mau bergabung maka
ia wajib diperangi karena hidup dalam dar
el-harb (Negara musuh), sedang golongan mereka sendiri dianggap berada
dalam dar al-Islam (Negara Islam);
§ Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang
menyeleweng;
§ Adanya wa’ad dan wa’id
(Orang yang baik harus masuk surga, sedangkan yang jahat harus masuk kedalam
neraka);
§ Amar ma’ruf nahi munkar;
§ Memalingkan ayat-ayat al-Quran yang tampak
Mutasabihat (samar);
§ Quran adalah makhluk;
§ Manusia bebas memutuskan
perbuatannya, bukan dari Tuhan; c.
Perkembangan Khawarij
Kaum
khawarij yang pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab badawi yang hidup di
padang pasir tandus membuat mereka bersifat sederhana dalam tetacara hidup dan
pemikiran, tetapi keras hati, berani, bersifat merdeka, dan tidak bergantung
pada orang lain. Perubahan agama tidak membawa perubahan pada sifat-sifat
ke-badawiyan mereka. Akibat dari sifat-sifat seperti inilah mereka bersikap
keras walaupun dengan sesama muslim. Selain itu, merekapun terpecah belah dalam
beberapa golongan/sekte.
Menurut Asy-Syahrastani, mereka terpecah menjadi
delapan belas subsekte, namun sekte yang paling pentingnya adalah Al-Muhakimah,
Al-Azariqoh, An-Najdiyah, Al-Baihasiyah, Al-A’jaridah, ats-Ts’alibah, dan
as-Shufriyah. Menurut al-Bagdady, seperti yang dikutip harun nasution ada dua
puluh sub sekte Khawarij. Sekte-sekte Khawarij tersebut membicarakan persoalan
hukum bagi orang yang berbuat dosa besar, apa dia masih dianggap mukmin atau
dia telah menjadi kafir. Doktrin inilah yang terlihat mendominasi mereka,
sedangkan doktrin-doktrin lainnya hanya sebagai penunjang saja. Pemikiran
subsekte ini bersikap praktis daripada teoritis sehingga kriteria mukmin dan
kafirnya menjadi tidak jelas. Hal ini membuat kondisi tertentu seseorang yang
bias menjadi kafir dan dalam waktu bersamaan menjadi seorang mukmin.
Tindakan-tindakan Khawarij ini membuat risau
Umat Islam saat itu, sebab dengan cap kafir yang diberikan salah satu subsekte
Khawarij tertentu, jiwa seseorang harus melayang, meskipun oleh subsekte lain
masih dianggap mukmin. Bahkan, dikatakan bahwa jiwa seorang Yahudi dan Majusi
itu lebih berharga daripada dengan jiwa seorang mukmin. Namun begitu, ada
subsekte Khawarij yang agak lunak, yaitu Najdiyah dan Ibadiyah. Keduanya
membedakan antara kafir nikmat dan kafir agama. Kafir nikmat hanya melaksanakan
dosa dan tidak berterima kasih kepada Allah. Orang semacam ini tidak perlu
dikucilkan dari masyarakat. Perkembangan selanjutnya, semua aliran yang
bersifat radikal dikategorikan sebagai golongan Khawarij.
2.
Murjiah
a.
Asal-usul dan sejarah munculnya
Nama Murjiah beraal dari kata irja atau arja’a
yang bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Memberi harapan dalam
artian member harapan kepada para pelaku dosa besar untuk memperoleh
pengampunan Allah Swt. Selain itu, irja’a juga bisa memiliki arti meletakkan di
belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dan iman. Oleh
karena itu, Murjiah berarti orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang
yang bersengketa, yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing, ke
hari kiamat kelak. Ada beberapa teori yang mengemukakan asal-usul adanya aliran
Murjiah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan Irja’a atau arja dikembangkan
oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam
ketika terjadinya pertikaian politik dan juga bertujuan untuk menghindari
sektarianisme. Diperkirakan Murjiah ini muncul bersamaan dengan munculnya
Khawarij. Teori lain mengatakan bahwa gagasan irja, yang merupakan basis
doktrin Murjiah, muncul pertama kali sebagai gerakan politik yang diperlihatkan
oleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah, sekitar tahun
695.
Menurut Watt, 20 tahun setelah kematian
Muawiyah, dunia Islam dikoyak oleh pertikayan sipil. Al-Mukhtar membawa paham
Syiah ke Kufah dari tahun 685-687; Ibn Zubair mengklaim kekhalifahan di mekah
hingga yang berada di bawah kekuasaan Islam. Sebagai respon dari keadaan ini,
muncul gagasan irja atau penangguhan (postponenment). Gagasan ini pertama kali
digunakan tahun 695 olleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Muhammad
Al-Hanafiyah, dalam sebuah surat pendeknya. Dalam surat ini Al Hasan menunjukan
sikap politiknya dengan mengatakan, “ Kita mengakui Abu Bakar dan Umar, tetapi
menangguhkan keputusan atas persoalan yang terjadi pada konflik sipil yang
pertama yang melibatkan Utsman, Ali, dan Zubair.” Dengan sikap politik ini,
Al-Hasan mencoba untuk menanggulangi perpecahan umat Islam. Ia pun mengelak
berdampingan dengan kelompok Syiah yang terlampau mengagungkan Ali dan para
pengikutnya, serta menjauhkan diri dari Khawarij yang menolak mengaki
kekhalifahan Muawiyah dengan alasan bahwa dia adalah keturunan si pendosa
Utsman.
Teori
lain mengatakan bahwa ketika terjadi perseteruan Ali dan Muawiyah, dilakukan
Tahkim atas usulan Amr bin Ash, pengikut Muawiyah. Kelompok Ali terpecah
menjadi dua kubu, yang pro dan yang kontra. Kelompok kontra akhirnya keluar
dari Ali, yaitu kelompok Khawarij, yang memandang bahwa keputusan takhim
bertentangan dengan al-Quran. Oleh karena itu, pelakunya melakukan dosa besar
dan pelakunya dapat dihukumi kafir. Pendapat ini ditolak oleh sebagian sahabat
yang kemudian disebut Murjiah, yang mengatakan bahwa pembuat dosa besar
tetaplah mukmin, tidak kafir, sementara dosanya diserahkan kepada Allah, apakah
dia akan mengampuninya atau tidak.
b.
Doktrin-doktrin Murjiah
Menurut
W. M. Watt, doktrin-doktin Murjiah secara umum sebagai berikut: Penangguhan
keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah yang memutuskannya di hari
kiamat kelak. Penangguhan Ali untuk menduduki rangking keempat dalam peringkat
al-Khalifah ar-Rasyidun. Pemberian harapan terhadap orang muslim yang berdosa
besar untuk mendapat ampunan dan rahmat dari Allah SWT. Doktrin-doktrin Murjiah
menyerupai pengajaran (mazdhab) para skeptik dan empiris dari kalangan Helenis.
Sementara
Abu A’la al Maududi menyebutkan dua ajaran paling pokok Murjiah, yaitu: Iman
adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Adapun amal dan perbuatan tidak
merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Seseorang tetap dianggap mukmin
walaupun meninggalkan perbuatan yang diwajibkan dan melakukan dosa besar. Dasar
keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman di hati, setiap maksiat tidak
dapat mendatangkan madarat atas seseorang. Untuk mendapat ampunan, manusia
hanya cukup dengan menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam keadaan akidah
tauhid.
c.
Perkembangan Murjiah
Dalam perkembagannya, golongan Murjiah terpecah
dalam beberapa sekte. Perpecahan ini dipicu akibat terjadinya
perbedaan-perbedaan pendapat dalam golongan Murjiah itu sendiri. Menurut
Asy-Syahrastani, kelompok Murjiah terbagi dalam empat kelompok besar. Yakni
Murjiah al-Khawarij, Murjiah al-Qadariyah, Murjiah Jabbariyah, dan Murjiah
Murni.
3.
Jabariyah
Kata Jabariyah berasal dari kata Jabara yang
mengandung arti memaksa dan mengharuskan melakukan sesuatu. Asy-Syahrastani
mengartikan Jabariah sebagai menolak adanya perbuatan dan menyadarkan semua
perbuatan kepada Allah Swt. Berdasarkan hal ini, Asy-Syahrastani membagi
Jabariah dalam dua bentuk, yaitu: Jabariah Murni, yang menolak adanya perbuatan
berasal dari manusia dan memandang manusia tidak memiliki kemampuan untuk
berbuat, Jabariah Pertengahan (Moderat), yang mengakui adanya perbuatan manusia
namun perbuatan manusia tidak membatasi. Namun, orang yang mengakui adanya
perbuatan makhluk yang mereka namakan “kasb” bukan termasuk Jabariyah.
Paham
al-Jabr pertama kali diperkenalkan oleh Ja’ad bin Dirham kemudian disebarluaskan
oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan. Dalam perkembangannya paham ini juga
dikembangkan oleh tokoh lainnya, diantaranya al-Husain bin Muhammad an-Najjar
dan Ja’ad bin Dirrar. Pendapat yang lain mengatakan bahwa kemunculan paham
Jabariyah terpengaruh dari paham ajaran Yahudi dan Nasrani. Yaitu Yahudi sekte
Qurro dan agama Nasrani yang bersekte Ya’cubiyah. Mengenai paham Jabariyah ini,
para ahli sejarah teologi Islam ada yang berpendapat bahwa kehidupan bangsa
Arab yang dikelilingi gurun sahara telah mempengaruhi cara hidup mereka.
Kebergantungan mereka terhadap gurun sahara yang panas telah memunculkan sikap
penyerahan diri terhadap alam.
Selain itu, menurut Abdul Rozak,
pemikiran-pemikiran Jabariah telah ada sejak awal periode Islam. Hal itu
terlihat dari beberapa peristiwa yang terjadi baik pada masa Nabi maupun
sesudahnya, seperti pada masa Umar bin Khatab, yaitu ketika terjadinya
pencurian dimana pencuri berargumen bahwa ia telah ditakdirkan untuk mencuri,
yang akhirnya pencuri tersebut mendapat hukuman potong tangan dan dera karena
telah menggunakan dalil Tuhan.
b.
Doktrin-doktrin Jabariyah.
Doktrin-doktrin Jabariyah secara umum dapat
dipaparkan sebagai berikut, yaitu: Fatalisme, yakni kepasrahan total yang
menganggap manusia tidak dapat melakukan apa-apa, tidak memiliki daya, dan
dipaksa berbuat oleh Allah Swt. Surga dan Neraka tidak kekal, tidak ada yang
kekal selain Allah Swt. Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam
hal ini, pendapat ini sama dengan konsep iman yang di ajarkan Murji’ah. Kalam
Tuhan adalah Makhluk. Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Dalam
perkembangannya Jabariyah terbagi antara Jabariyah Murni dan Jabariyah Moderat.
Jabariyah Murni terbagi dalam beberapa golongan, yaitu al-Jahmiyah,
an-Najjariyah, dan ad-Dhirariyah.
4.
Qodariyah
Asal
Muasal paham Qodariyah
Qodariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu
Qadara, yang artinya kemampuan dan kekuatan. Menurut terminology, Qodariyah
adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala perbuatan manusia tidak
diintervensi oleh Tuhan. Jadi, tiap-tiap orang adalah pencipta dari
perbuatannya. Para pakar sejarah teologi Islam tidak mengetahui secara pasti
kapan paham ini timbul, tetapi menurut keterangan ahli lainnya, paham Qodariyah
diperkirakan timbul pertama kali oleh seorang bernama Ma’bad al-Juhani, menurut
Ibn Nabatah, Ma’bad al-Juhani dan temannya, Ghailan al-Dimasyiqi mengambil
paham ini dari seorang Kristen yang masuk Islam di Irak. Dan Menurut Zahabi,
Ma’bad adalah seorang tabi’i yang baik dan ia pun menentang kekuasaan Bani
Umayah. Dalam pertempuran dengan al-Hajjad tahun 80 H, dia mati terbunuh.
Doktrin-doktrin
Qodariyah
Secara
garis besar, doktrin-doktrin Qodariah pada dasarnya berkisar tentang takdir
Tuhan, yaitu: Manusia berkuasa atas segala perbuatannya; Takdir adalah
ketentuan Allah Swt yang diciptakan-Nya bagi seluruh alam semesta beserta
seluruh isinya, sejak zaman azali, yaitu hukum dalam istilah al-Quran disebut
Sunatullah. Dalam perkembangannya, paham qodariyah seringkali disebut dengan
paham Mu’tazilah seperti yang dijelaskan Asy-Syahrastani yang menyatukan
pembahasan Mu’tazilah dengan pembahasan Qodariyah. Hal ini disebabkan karena
paham qodar dijelaskan lebih luas pada aliran Mu’tazilah.
5.
Mu’tazilah
Secara harfiayah kata Mu’tazilah berasal dari
kata i’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga
menjauh atau menjauhkan diri. Secara teknis, Mu’tazilah menunjuk pada dua golongan,
yaitu : Golongan pertama, muncul sebagai respon politik, yaitu bersifat lunak
dalam menyikapi pertentangan antara Ali dan lawan-lawannya. Menurut Abdul
Rozak, golongan inilah yang pertama-tama disebut Mu’tazilah karena mereka
menjaukan diri dari pertikaian masalah Imamah. Golongan kedua, muncul sebagai
respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan khawarij dan Murjiah
tentang pemberian status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar. Mu’tazilah
inilah yang akan dibahas kemudian.
Beberapa versi tentang pemberian nama Mu’tazilah
(golongan kedua) ini, merujuk pada peristiwa yang terjadi antara Washil bin
A’tha, Amr bin Ubaid dan Hasan Al-Basri di Basrah. Ketika Washil mengikut
pengajaran yang diberikan oleh Hasan al-Basri tentang dosa besar. Ketika Hasan
Basri masih berpikir. Washil mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan,
“Penulis berpendapat bahwa orang yang berdosa besar, bukan mukmin dan bukan
pula kafir, tetapi berada dalam posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan
tidak kafir.” Kemudian Washil
menjauhkan diri
dari Hasan Basri dan pergi di tempat lain di lingkungan masjid. Disana Washil
mengulangi pendapatnya di depan para pengikutnya. Dengan peristiwa ini, Hasan
Basri berkata,” Wazhil menjauhkan diri dari kita (I’tazaala anna). Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang menjauhkan
diri inilah yang kemudian disebut sebagai Mu’tazilah.
Versi lain yang diberikan oleh Tasy Kubra Zadah,
menyebut bahwa Qatadah Ibn Da’amah pada suatu hari masuk ke masjid Basrah dan
menuju ke majelis ‘Amr bin Ubaid yang disangkanya majelis Hasan al-Basri.
Setelah ia tahu bahwa itu bukanlah majelis Hasan al-Basri, ia berdiri dan
meninggalkan tempat itu sambil berkata, “ini kaum Mu’tazilah.” Sejak itu,
mereka disebut kaum Mu’tazilah. Al-Mas’udi memberikan keterangan lain lagi,
mereka disebut kaum Mu’tazilah karena mereka berpendapat bahwa orang yang
berdosa besar bukan mukmin dan juga bukan kafir, tetapi mengambil posisi
diantara kedua posisi itu (al-mazilah bain al-manzilatain).
Menurut
Ahmad Amin, nama Mu’tazilah sudah ada sebelum peristiwa antara Washil dan Hasan
al-Basri. Nama Mu’tazilah diberikan kepada golongan yang tidak mau
berintervensi dalam pertikaian politik yang terjadi pada masa Utsman bin Affan
dan Ali bin Abi Thalib, Qais yang waktu itu sebagai gubernur di mesir pada masa
Ali, ia menjumpai pertikaian disana, satu golongan turut padanya, dan golongan
lain menjauhkan diri ke Kharbita (I’tazalat ila Kharbita). Dalam suratnya
kepada Khalifah, ia menamai golongan yang menjauhkan diri dengan nama
Mu’tazilah.
Golongan
Mu’tazilah juga dikenal dengan nama lain seperti Ahl al-Adl yang berarti
golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan dan ahl al-tawhid wa al-adl yang
berarti golongan yang mempertahankan keesaan murni dan keadilan Tuhan. Mereka
juga sering disamakan dengan paham Qadariyah yang menganut paham free act dan
free will. Selain itu mereka juga dinamai al-Mua’tillah karena golongan
Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, dalam arti sifat yang
memiliki wujud diluar zat Tuhan. Mereka juga diberi nama dengan Wa’diyyah,
karena mereka berpendapat bahwa ancaman Tuhan itu pasti akan menimpa
orang-orang yang tidak taat akan hukum-hukum Tuhan. Ajaran-ajaran Mu’tazilah
mendapat dukungan dan penganut dari penguasa Bani Umayyah, yakni khalifah Yazib
bin Walid (125-227H). Sedangkan dari Bani Abbasiyah yaitu: Al-Makmun
(198-218H), Al-Mu’tasim billah (218-227H), dan Al-Watsiq (227-232H).
b.
Ajaran Dasar Teologi Mu’tazilah.
Ajaran-ajaran
dasar Mu’tazilah ini juga disebut dengan al-Ushul al-Khamsah.[40] Yaitu :
At-Tauhid. At-Tauhid (pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dan intisari
ajaran Mu’tazilah. Sebenarnya, semua aliran teologis dalam Islam memegang
doktrin ini. Namun, Tauhid dalam paham Mu’tazilah memiliki arti spesifik.
Yaitu: Tuhanlah satu-satunya yang Esa, yang unik dan tidak satupun yang
menyamai-Nya. Karena itu, Dia-lah yang qadim. Bila ada yang qadim lebih dari
satu, maka telah terjadi ta’adud al qudama (tebilangnya zat yang tak
berpemulaan). Mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat,
penggambaran fisik, dan Tuhan dilihat dengan mata kepala.
Ajaran tentang keadilan ini berkait erat dengan
beberapa hal, antara lain:
1. Perbuatan Manusia. Menurut Mu’tazilah, melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan
Tuhan, baik secara langsung maupun tidak. Konsep ini memiliki konsekuensi logis
dengan keadilan Tuhan, yaitu apapun yang akan diterima manusia di akhirat
merupakan balasan perbuatannya di dunia.
2.
Berbuat
baik dan terbaik (as-shalah wa al-ashlah). Maksudnya adalah kewajiban
Tuhan untuk berbuat baik, bahkan
terbaik untuk manusia. Tuhan tidak mungkin jahat dan penganiaya,
karena hal
tersebt tidak layak bagi Tuhan. Jika Tuhan berlaku jahat terhadap seseorang dan
berlaku jahat kepada orang lain berarti Ia tidak adil. Maka Tuhan pastilah
berbuat yang terbaik bagi manusia.
3. Mengutus Rasul. Mengutus rasul bagi manusia merupakan kewajiban bagi Tuhan dengan alasan sebagai berikut: Tuhan wajib
berlaku baik kepada manusia. Al-Quran secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan
untuk memberikan belas kasih kepada manusia (QS 26:29). Tujuan diciptakan
manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Agar tujuan tersebut berhasil, tidak
ada jalan lain selain mengutus rasul.
4. Al-Wa’ad wa al-Wa’id. Al-Wa’ad wa al-Waid berarti janji dan ancaman,
Tuhan yang Mahaadil dan
Mahabijaksana, tidak akan melanggar janji-Nya. Yaitu untuk member pahala surge
bagi yang berbuat baik dan mengancam dengan siksa neraka atas orang yang
durhaka. Begitu pula janji Tuhan untuk member ampunan orang yang bertaubat
nasuha pasti benar adanya.
5. Al-Manzilah bain al-Manzilatain. Menurut pandangan Mu’tazilah, pelaku dosa besar
tidak dapat dikatakan sebagai orang
mukmin secara mutlak. Hal ini karena keimanan menuntut adanya kepatuhan kepada
Tuahan, dan tidak cukup hanya pengakuan dan pembenaran. Pelaku dosa besar juga
tidak bias dikatakan kafir secara mutlak karena ia masih percaya kepada Tuhan,
Rasul-Nya, dan mengerjakan pekerjaan yang baik.
6. Al-Amru bi al-Ma’ruf wa an-Nahy an Munkar. Al-Amru bi al-Ma’ruf wa
an-Nahyi an-Munkar berarti menyuruh kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dalam
paham Mu’tazilah, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mukmin untuk
melakukan hal ini. Yaitu: Ia mengetahui perbuatan yang disuruh itu memang
ma’ruf dan yang dilarang itu memang munkar. Ia mengetahui bahwa kemungkaran
telah nyata dilakukan oleh orang. Ia mengetahui bahwa perbuatan amr ma’ruf atau
nahy munkar tidak akan membawa mudharat yang lebih besar. Ia mengetahui atau
paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak akan membahayakan dirinya dan
hartanya.
6. Syiah
a.
Asal-usul kemunculan Syiah
Syiah
secara bahasa berarti pengikut, pendukung, partai, atau kelompok, sedangkan
secara terminology adalah sebagian kaum muslimin yang dalam bidang spiritual
dan keagamaannya selalu merujuk kepada keturunan Nabi Muhammad Saw, atau orang
yang disebut sebagai ahl-bait. Menurut Abu Zahrah, Syiah mulai muncul pada
akhir masa pemerintahan Utsman bin Affan kemudian tumbuh dan berkembang pada
masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Adapun menurut Watt, Syiah benar-benar
muncul ketka berlangsung peperangan antara Ali dan Muawiyah pada perang siffin.
Dalam respon ini, golongan yang mendukung Ali disebut sebagai Syiah dan yang
tidak menolak Ali disebut sebagai Khawarij. Berkaitan dengan teologi, mereka memiliki
lima rukun iman, yakni Tauhid, Nubuwah, Ma’ad (Kepercayaan akan adanya hidup di akhirat), Imamah (kepercayaan terhadap imamah yang
merupakan hak ahlul bait), dan adl (keadilan
Tuhan).
b.
Ajaran-ajaran Syiah
1. Tauhid.
Tuhan adalah Esa, baik ekstensi maupun esensi-Nya. Keesaan adalah mutlak. Keesaan Tuhan tidak murakkab
(tersusun). Tuhan tidak membutuhkan sesuatu, Ia berdiri sendiri, dan tidak
dibatasi oleh ciptaan-Nya.
2. Nubuwah.
Setiap mahkluk membutuhkan petunjuk, baik petunjuk dari Tuhan maupun dari manusia. Rasul merupakan petunjuk
hakiki utusan Tuhan yang diutus untuk memberikan acuan dalam membedakan antara
baik dan buruk di alam semesta. Tuhan telah mengutus 124.000 rasul untuk
memberikan petunjuk kepada manusia.
3. Ma’ad.
Ma’ad adalah hari akhir untuk menghadapi Tuhan di akhirat. Mati adalah
kehidupan transit dari kehidupan
dunia menuju kehidupan akhirat.
4. Imamah.
Imamah adalah institusi yang diinagurasikan Tuhan untuk memberikan petunjuk manusia yang dipilih dari keturunan
Ibrahim dan didelegasikan kepada keturunan Muhammad Saw.
5.
Adil. Tuhan
menciptakan kebaikan di Alam semesta ini merupakan keadilan. Tuhan memberikan akal kepada manusia untuk
mengetahui perkara yang salah melalui perasaan. Manusia dapat menggunakan
indranya untuk melakukan perbuatan, baik perbuatan baik maupun perbuatan buruk.
Jadi, manusia dapat memanfaatkan potensi berkehendak sebagai anugrah Tuhan
untuk mewujudkan dan bertanggung jawab atas perbuatannya.
c.
Perkembangan Syiah
Dalam
perkembangannya, golongan syiah ini terpecah dalam beberapa sekte. Perpecahan
ini dipicu karena doktrin imamah yang berbeda-beda. Diantara sekte syiah itu
adalah Istsna Asy’Ariyah, Sab’iyah, Zaidiyah, dan Gullat.
7. Ahlus
Sunnah wal Jama’ah
Ungkapan
Ahl Sunnah wal Jamaah (sering disebut dengan Sunni) dapat dibedakan menjadi dua
pengertian, yaitu umum dan khusus. Sunni dalam pengertian umum adalah lawan
dari Syiah. Dalam artian ini, Mu’tazilah dan As’ariyah masuk dalam golongan
Sunni. Dalam pengertian khusus, Sunni adalah mazhab dalam barisan As’ariyah dan
merupakan lawan dari Mu’tazilah. Selanjutnya, trem Ahlussunah banyak dipakai
setelah munculnya aliran As’ariyah dan Maturidiyah, dua aliran yang menentang
ajaran Mu’tazilah.
a.
Ajaran Asy’ariah
Ajaran
Asy’ariah muncul atas keberanian Abu Hasan Al-Asy’ary yang menenteng paham
Mu’tazilah. Abu hasan Al-Asy’asy adalah seorang pengikut M’tazilah sampai ia
berusia 40 tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba dia mengumumkan diri dihadapan
jama’ah masjid Basrah bahwa dia keluar dari golongan Mu’tazilah dan menunjukan
keburukan-keburukannya. Menurut Ibn Asakir, yang melatar belakangi al-Asy’ary
meninggalkan paham Mu’tazilah adalah pengakuan al-Asy’ary yang telah bermimpi
bertemu Rasulullah Saw sebanyak tiga kali pada bulan Ramadhan. Namun menurut
pendapat yang lain, al-Asy’ary keluar dari Mu’tazilah karena adanya keraguan
ketika dia mempertanyakan hal tentang mukmin dewasa, anak-anak, dan kaum kafir
kepada al-Jubba’i.
Ajaran-ajaran
Asy’ariyah:
1.
Tuhan
dan Sifat-sifat-Nya. Al-Asy’ary berhadapan pada dua pandangan
ekstrim. DI satu pihak dia berhadapan
dengan kelompok mujassimah (antromorfis) dan kelompok musyabbihah yang
berpendapat bahwa Allah memiliki sifat yang disebutkan dalam al-Quran dan
Sunnah dan sifat-sifat itu harus dipahami menurut arti harfiahnya. Di pihak
lain, ia berhadapan dengan Mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah
tidak lain esensi-Nya. Menghadapi dua kelompok tersebut, al-Asy’ary berpendapat
bahwa Allah memiliki
sifat-sifat
itu, seperti mempunyai tangan dan kaki, dan ini tidak boleh diartikan secara
harfiah, melainkan secara simbolis. Selanjutnya, al-Asy’ary menjelaskan bahwa
sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat
manusia. Sifat-sifat Allah Swt berbeda dengan Allah sendiri, tetapi-sejauh
menyangkut realitasnya tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian tidak
berbeda dengan-Nya. Kebebasan dalam berkehendak. Dalam kebebasan berkehendak,
al-Asy’ary membedakan anta ra khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah Khaliq
(pencipta) perbuatan manusia, tetapi manusia lah yang mengupayakannaya
(muktasib).
2. Akal dan Wahyu dan Kriteria Baik-buruk. Al-Asy’ary mengutamakan
wahyu dalam menghadapi persoalan yang
memperoleh penjelasan kontadiktif antara akal dan wahyu.
3. Qadimnya al-Quran. Al-Asy’ary mengatakan bahwa walaupun al-Quran terdiri atas kata-kata, huruf, dan bunyi, semuanya tidak
melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim. Namun, bagi al-Asy’ary
al-Quran tidaklah diciptakan.
4. Melihat Allah. Al-Asy’ary yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak
dapat digambarkan. Kemungkinan rukyat
dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau
bilamana dia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
5. Keadilan. Allah adalah penguasa mutlak, jadi Dia tidak memiliki keharusan
apapun. Kedudukan orang yang berdosa.
Al-Asy’ary berpendapat bahwa mukmin yang melakukan dosa besar adalah mukmin
yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karana dosa kecuali kufur.
b.
Ajaran Maturidiah
Abu Mansur al-Maturidi dilahirkan di Maturid,
sebuah kota kecil di Samarkand, wilayah Uzbekistan (sekarang). Al-Maturidi
hidup pada masa khalifah al-Mutawakil yang memerintah tahun 232-274/847-861 M.
Ia sendiri wafat pada tahun 333 H/944 M. Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan
paham-paham teologisnya banyak persamaannya dengan paham yang dimajukan oleh Abu
Hanifah. Sistem teologi Abu Mansur dikenal dengan nama Al-Maturidiyah.
Ajaran-ajaran
Al-Maturidy
1.
Akal dan
Wahyu. Menurut al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal.
Kemampuan akal dalam mengetahui kedua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat
Al-Quran yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha
memperoleh pengetahuan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaan-Nya.
Dalam masalah baik dan buruk, al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan
buruk sesuatu terletak pada sesuatu itu sendiri, sedangkan perintah atau
larangan syariah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya
sesuatu.
2.
Perbuatan
Manusia. Menurut al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah
ciptaan-Nya. Khusus mengenai mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan, dan
keadilan kehendak Tuhan mengharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat
(ikhtiar) agar kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakannya.
Tuhan menciptakan daya (kasb) dalam diri manusia dan manusia bebas memakainya.
Daya-daya tersebut diciptakan bersamaan dengan perbuatan manusia. Dengan
demikian tidak ada pertentangan antara qudrat Tuhan yang telah menciptakan
perbuatan manusia dan ikhtiar yang ada pada manusia.
3. Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang, tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu
berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.
4. Sifat Tuhan. Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat Tuhan tidak dikatakan sebagai
esensi-Nya dan bukan pula lain dari
esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah (ada bersama, baca: inheren) zat
tanpa terpisah. Menetapkan sifat Allah tidak harus membawanya pada
antromorphisme karena sifat tidak berwujud tersendiri dari zat, sehingga
terbilangnya sifat tidak akan membawa terbilangnya yang qadim (taaddud
al-qudama).
5. Melihat Tuhan. Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitakan oleh al-Quran, antara lain
firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22-23. Al-Maturidi lebih lanjut
mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan
memiliki wujud walaupun Ia immateri. Namun, melihat Tuhan, kelak di akhirat
tidak dalam bentuknya (bila kaifa), karena keadaan di akhirat tidak sama dengan
keadaan di dunia.
6. Kalam Tuhan. Al-Maturidi membedakan antara kalam (sabda) yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsy (sabda
yang sebenarnya). Kalam nafsy adalah sifat yang qadim bagi Allah, sedangkan
kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata adalah bahar (hadis).
7. Pengutusan Rasul. Akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk mengetahui
kewajiban-kewajiban. Jadi, pengutusan rasul berfungsi sebagai sumber informasi.
Tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan rasul berarti manusia telah
dibebankan sesuatu yang berada diluar kemampuannya.
8.
Pelaku
dosa besar. Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa
besar tidak kafir dan tidak kekal di
dalam neraka walaupun dia mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah
menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya.
Menurut al-Maturidi, iman itu cukup dengan tasdhiq dan iqrar. Sedangkan amal
adalah penyempurna iman. Oleh karena itu, amal tidak akan menambah atau
mengurangi esensi iman, kecuali hanya menambah atau mengurangi sifatnya saja.
Pengaruh
Teologi
Persoalan teologi yang berawal dari persoalan
politik pemerintahan, tidak sedikit berimbas terhadapan tatanan kehidupan
masyarakat sosial yang secara tidak langsung ikut terlibat serta menjadi bagian
di dalamnya. Berbagai kalangan bersaing untuk mempertahankan paham mereka,
bahkan hingga menimbulkan perselisihan di dalam golongan itu sendiri. Hal ini
menggambarkan bahwa bukanlah suatu hal yang aneh jika terjadi perpecahan di
kalangan umat Islam, terlebih dalam satu golongan tidak kokoh dengan satu
pemahaman.
Adapun pengaruh atau imbas dari teologi itu sendiri
adalah:
1. Terpecahnya
Umat Islam dalam Keberagaman Sudut Pandang.
Terpecahnya umat Islam pada daat itu, tidak
terlepas dari sejarah lahirnya teologi, yang berawal dari terbunuhnya Khalifah
Utsman bin Affan serta naiknya Ali sebagai Khalifah yang memimpin dunia Islam
pada saat itu. Sejarah Islam secara gamblang menjelaskan bahwa Perang Siffin
berimbas kepada lahirnya golongan-golongan yang berdiri di atas paham mereka
sendiri. Persoalan teologipun menjadi suatu hal yang menarik pada saat itu,
terlebih jika dikaitkan dengan berbagai perkembangan pemikiran dari suatu
golongan dan bahkan peikiran para tokoh Islam. Setidaknya banyak aliran yang
timbul dari persoalan ini, antara lain Khawarij, Murji’ah dan Mu’tazilah serta
Qadariyah dan Jabariyah. Aliran-aliran ini berdiri dengan paham dan
pemikiran
mereka masing-masing terhadap situasi yang terjadi pada saat itu. Dengan adanya
golongan-golongan inilah menggambarkan bahwa Islam terpecah dalam beberapa
kelompok yang menjunjung tinggi pemikiran mereka masing-masing.
2. Kecekcokan
dalam Suatu Golongan
Bukan hanya melibatkan kelompok-kelompok besar,
teologi ternyata juga berdampak terhadap apa yang terjadi di dalam
golongan-golongan tersebut. Persoalan yang awalnya menimbulkan perbedaan
beberapa golongan, ternyata juga mengalami perbedaan tersendiri di dalam ruang
lingkup golongan tersebut. Khawarij misalnya, yang dikenal sebagai barisan yang
keluar dari pendukung Ali bin Abi Thalib, dan telah mempunyai pemikiran
tersendiri, ternyata dari pengikut golongan khawarijpun tepecah ke dalam
beberapa sekte dengan pemikiran yang berbeda. Golongan khawarij juga sering
mengadakan perlawanan terhadap penguasa-penguasa Islam dan Umat Islam yang ada
di zaman mereka. Lain hal dengan Mu’tazilah, setelah beberapa saat mencapai
puncak kejayaannya, Mu’tazilah mengalami kemunduran drastis yang disebabkan
oleh perbuatan mereka sendiri. Mereka yang hendak mempertahankan pemikiran dan
kebebasan mereka sendiri, malah memusuhi orang-orang yang tidak mengikuti paham
mereka. Peristiwa ini mencapai puncak hingga menimbulkan perpecahan yang justru
melahirkan golongan baru.
Tidak
sedikit dari golongan-golongan ini yang menggunakan kekerasan dalam
pelaksanaannya. Banyak terjadi pemaksaan terhadap umat Islam dan terhadap
pengikut golongan itu sendiri untuk meyakini atau ikut dengan pemikiran yang
mereka anut. Dan tentunya tidak semua pihak yang mampu menerima tindak paksaan
seperti itu, sehingga memicu kekerasan yang akan berdampak lebih buruk lagi.
Dari fenomena ini terlihat bahwa keberagaman pemikiran dan sifat ingin
berkuasanya manusia dapat menimbulkan hal-hal yang seharusnya tidak perlu
terjadi, seperti peperangan antar sesame Muslim.
Timbulnya
Pemberontakan
Aliran
Khawarij
Pengikut
aliran khawarij juga terpecah menjadi beberapa golongan. Inflasi dari
pertentangan itu justru memunculkan ajaran-ajaran aqidah asing dalam lembaran
sejarah khawarij. Mereka memberontak hanya untuk menetapkan proposisi keliru
dari ajaran-ajarannya. Mereka beranggapan bahwa meninggalkannya hanyalah
membawa kekafiran dan kesesatan. Ketika suatu saat terbukti bahwa proposisi itu
keliru, mereka malah kembali menarik diri, namun setelah itu mereka melkaukan
pemberontakan yang jauh lebih dahsyat sebagai tanda bahwa mereka hendak menebus
kesalahan yang telah mereka lakukan.
Dari
kondisi yang demikian, pemberontakan-pemberontakan yang muncul dalam satu
aliran, disebabkan oleh watak keras kepala dari golongan tersebut, adanya sikap
ingin memisahkan diri dan mengulang-ulang kesalahan, bahkan sebagian aliran
justru bergabung dengan aliran lain untuk menyerang aliran utama. Selain itu,
kerasnya watak khawarij serta adanya ektrimitas, menyebabkan setiap tindakan
dan aktivitasanya dijalankan tanpa pemikiran yang matang serta revolusi yang
selalu berubah. Khwarijpun sering mengadakan pemberontakan terhadap penguasa
yang dzalim, walaupun tindakannya itu akan mengantarkan mereka ke dalam
keputusan yang tidak diharapkan.
Aliran
Syi’ah
Aliran Syi’ah muncul diawali dengan tersisanya
pasukan Ali setelah Khawarij menyempal. Setelah adanya keputusan tahkim, mereka
membulatkan tekad membuat sebuah
keputusan untuk
mendukung Ali bin Abi Thalib. Syiah yang pertama kali muncul tidak pernah
mencaci dan mencerca sahabat Nabi. Namun ketika melangkah lebih jauh, Syiah
berjalan dengan memunculkan konsep-konsep yang berbahaya yang ditandai dengan
watak ekstrim serta menganut keyakinan yang tidak diakui oleh Islam.
Implikasi
dari Perselisihan Politik
Gerakan-gerakan
Khawarij dan Syi’ah cukup menyibukkan penguasa Islam dan banyak menguras
keringat pasukan yang seharusnya digunakan untuk penaklukan. Keterlambatan
dalam penaklukan adalah imbas langsung dari perselisihan yang terjadi. Gerakan
yang dilakukan oleh khawarij dan syi’ah ini berjalan dalam waktu dan kondisi
yang tidak tepat. Mereka bukannya membentengi umat Islam, akan tetapi
bergerilya dengan pertumbahan darah dan perampasan harta kaum muslimin sendiri
Impilkasi
dari Aqidah
Permasalah implikasi dari aqidah ini berarah
pada konsep pemahaman dari suatu aliran. Keyakinan yang dianut oleh
masing-masing aliran justru menimbulkan bid’ah.Jadi berdasarkan catatatan
sejarah Islam, terdapat bid’ah khwarij, bid’ah murji’ah dan bid’ah syi’ah.
Bid’ah
khawarij
Diantara hal yang tergolong ke dalam bid’ah
khawarij adalah:
§ Mereka mengkafirkan para pendosa besar
§ Menyalahi Al-Qur’an baik secara aksi maupun pola
pikir tergolong kafir.
§ Ancaman bagi pendosa besar adalah abadi di dalam
api neraka.
§ Bid’ah ini timbul karena sikam ekstrim di dalam
beragama.
Bid’ah
Murji’ah
Ajaran Murji’ah
yang berpegang kepada sebuah pendapat bahwa iman seseorang tidak terpengaruh
kepada kemaksiatan,seperti halnya kekafiran yang tidak akan terpengaruh oleh
ketaatan. Konsep iman inilah yang bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an, karena
Al-Qur’an menjelaskan baha amal dan iman merupkan dua hal yang tidak dapat
dipisahkan.
Bid’ah
Syi’ah
Termasuk ke
dalam bid’ah Syi’ah adalah sikap fanatik yang berlebihan terhadap imam. Mereka
menempatkan kedudukan imam di atas posisi Nabi, sebagai orang yang terhindar
dari dosa dan mampu melihat hal-hal yang ghaib. Selain dari itu yang termasuk
bid’ah Syi’ah adalah keberpihakan mereka kepada keyakinan Jahmiyyah dalam hal
sifat-sifat Allah dan aliran Qadariyah dalam hal perbuatan hamba.
GANTI HALAMA