Popular Post

Popular Posts

Posted by : farezchaiber. Saturday, November 03, 2018


Mahasiswa yang baru memasuki dunia kampus, memiliki motivasi dan orientasi awal yang berbeda, ada yang menganggap kuliah sekadar prestise, ajang cari jodoh, mengasah intelektual dan—sebagian besar—sekedar sebagai tempat mendapatkan ijazah agar mudah dapat kerja.
Salah satu orientasi mahasiswa adalah intelektualisme yang biasanya baru disadari dan terbentuk ketika mahasiswa bersangkutan berinteraksi dengan segenapliterature ilmiah yang diramu dengan nalar kritis dan dibenturkan pada realitas sosial masyarakat.

Mahasiswa hari ini dituntut agar memiliki seperangkat pengetahuan dan intelektual yang kuat, sehingga ia berdaya guna bagi masyarakat serta berkontribusi nyata terhadap perubahan masyarakat dan lingkungannya. Mahasiswa yang bergerak pada ranah ini sebenarnya lebih mendekati apa yang disebut Antonio Gramsci sebagaiintelektual-organik[1] yang mampu mempertautkan antara teori dan praksis, sedangkan oleh Mazhab Frankfurt[2]dikatakan lebih berguna bagi kehidupan, dan untuk memecahkan problem sosial di masyarakat.

Dalam konteks ini, fenomena kaum intelektual pada dasarnya bersifat progresif-revolusioner, meskipun lebih diwujudkan dalam revolusi pemikiran, bukan revolusi fisik. Hal inilah yang menjadikan sosok kaum intelektual sebagai sosok manusia yang berperilaku, bersikap dan berkarakter kritis, sehingga kaum intelektual disini menyatakan pikiran dan kritiknya secara jelas dan bijak.

Sejatinya, insan intelektual—dengan beberapa kualifikasi seperti diatas—bukanlah monopoli pendidikan formal, terutama perguruan tinggi. Bahkan banyak kaum intelektual lahir dari luar benteng ‘menara gading’ kampus. Mereka mampu mengembangkan pemikiran sendiri hingga mencapai kemampuan pemikiran dan perilaku intelektual. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah ‘Dimana posisi Kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di ranah ini?


Jawaban atas pertanyaan diatas, sangat berpengaruh terhadap pembentukan wajah gerakan PMII dan orientasi pengembangan yang dilakukan. Dominasi disiplin ilmu-ilmu sosial sebagai amunisi dan asupan gizi pengetahuan kader PMII tentu sangat berpengaruh dalam cara pandang, titik pijak filosofis dan teologis, serta pokok-pokok program dan gerakan yang dilakoninya. Dalam konteks pencerminan suatu perubahan yang diinginkan—apapun yang dihasilkan oleh warga PMII—merupakan hasil serius dari upaya memberikan suatu tatanan dalam keorganisasian yang lebih baik. Adanya ruang yang begitu luas untuk melakukan aktualisasi diri telah menghasilkan suatu komunitas yang kritis, apresiatif dan dinamis, baik dalam melakukan eksplorasi gagasan, pemikiran maupun dalam parktis gerakan yang dilakukannya. Arah pemikiran dan langkah konkrit gerakan PMII tentu sangat erat kaitannya dengan masalah paradigma yang dipakai oleh warga PMII. Sebab, paradigma merupakan ‘kaca mata’ yang memiliki seperangkat asumsi, nilai, konsep dan praktik yang mempengaruhi cara berfikir, bersikap dan bertindak seluruh kader PMII.

Paradigma Kritis Transformatif (PKT) adalah suatu paradigma yang sampai hari ini masih dipilih oleh warga PMII sebagaiproblem solver kompleksitas permasalahan zaman yang dihadapi. Pemilihan PKT sebagai paradigma pergerakan bagi PMII bukanlah tanpa alasan, dan tentunya ada pra kondisi yang menjadikannya muncul sebagai soft ware pergerakan PMII. Tercatat dalam sejarah PMII, di samping PKT, terdapat paradigma lain yang pernah dipilih oleh warga PMII, yaitu Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran. Tepatnya dimulai pada eranya Sahabat Muhaimin Iskandar, sampai pada akhirnya dianggap kurang relevan lagi dan tergantikan denganParadigma Kritis Transformatif masa kepemimpian Sahabat Syaiful Bahri Anshori.

Masing-masing model paradigma yang dianut warga PMII adalah suatu bentukikhtiar dan jawaban atas realitas zamannya.Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiransemisal, dilatar-belakangi oleh kondisi sosio-politik bangsa (rezim Orba) yangrepresif dan sangat tidak memihak terhadap—apa yang disebut PMII dengan—kaummustadl’afin (proletariat). Paradigma Arus Balik bernada sangat frontal dalam mendengungkan anti kemapanan—lebih jelasnya anti ketidak-adilan dan penindasan. Gerakan perlawanan Paradigma Arus Balik dikemudian hari dilanjutkan dengan Paradigma Kritis Transformatif.


Dalam makalah ini, penulis mencoba menggambarkan kajian pemikiran dan ranah gerakan yang diusung Paradigma Kritis Transformatif yang dirasa masih begitu relevan bagi warga PMII. Disamping itu, hingga saat ini PMII belum menemukan wajah dan model paradigma baru sebagai pisau analisa dan arah gerakan dalam membaca realitas sosial hari ini. Namun satu kali lagi bahwa PKT sebagai paradigma PMII masih begitu relevan, karena PKT akan membuka kran wacana pengetahuan dan kesadaran kritis kader PMII, serta dapat membuka jalan kader sebagai sosokintelektual-organik, sehingga citra diri gerakan intelektual PMII adalah Intelektual transformatif yang memiliki tanggungjawab untuk menjadikan kampus sebagai medan ‘pertarungan’ dengan menginternalisasi kesadaran akan pentingnya pengetahuan dalam benak mahasiswa dan kader, serta kesadaran yang tinggi untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya sesuai dengan basis akademis tanpa menghilangkan kesadaran ruang dimana mereka berpijak.


Maka dari itu, dalam memahamiParadigma Kritis Transformatif, pertama kali marilah kita membedah satu persatu tiga kata yang membentuk frasa tersebut, yaitu ‘Paradigma’, ‘Kritis’, dan ‘Transformatif’.

A. Pengertian Paradigma
Secara etimologi, paradigma berasal dari bahasa Inggris, yaitu ‘paradig’ yang berarti bentuk sesuatu, model dan pola (type of something, model, pattern). Dalam bahasa Yunani, paradigma berasal dari kata ‘para’ (disamping, disebelah) dan kata dekynai(memperlihatkan; yang berarti; model; contoh; arketipe; ideal).[3] Sedangkan secara terminologi, paradigma berarti a total view of a problem; a total outlook; not just a problem in isolation. Paradigma adalah cara pandang atau cara berfikir tentang sesuatu.[4] Oleh sebab itu, paradigma dapat pula dimaknai sebagai:

1. Cara memandang sesuatu;

2. Dalam ilmu pengetahuan berarti model, pola, ideal. Dari model-model ini fenomena yang dipandang dan diperjelas;

3. Totalitas premis-premis teoretis dan metodologis yang menentukan atau mendefinisikan suatu studi ilmiah konkret, dan;

4. Dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem riset.[5]

Menurut Nasim Butt, paradigma merupakan teori-teori yang berhasil secara empiris yang pada mulanya diterima dan dikembangkan dalam sebuah tradisi penelitian sampai kemudian ditumbangkan oleh paradigma yang lebih progresif secara empiris.[6] Sedangkan menurut Husain Heriyanto, paradigma adalah seperangkat asumsi-asumsi teoretis umum dan hukum-hukum serta teknik-teknik aplikasi yang dianut secara bersama oleh para anggota suatu komunitas ilmiah.[7] Liek Wilaryo mendefinisikan paradigma sebagai model yang dipakai ilmuwan dalam kegiatan keilmuannya untuk menentukan jenis-jenis persoalan yang perlu digarap, dan dengan metode apa, serta melalui prosedur yang bagaimana penggarapan itu harus dilakukan.

Sedangkan konsep paradigma populer karena pemikiran Thomas Kuhn dalam bukunya The Struktur of Scientific Revolution ketika menjelaskan revolusi ilmu pengetahuan. Menurutnya bahwa ilmu pengetahuan berkembang dari masa awal pembentukan. Setelahnya ilmu pengetahuan memperoleh pengakuan yang selanjutnya berkembang mejadi paradigma. Pada tahap inilah sebuah teori ilmu pengetahuan diakui sebagai kebenaran dan dijadikan sebagai acuan masyarakat dalam merumuskan pertanyaan dan cara menjawab. Pada saat inilah sebuah teori ditempatkan sebagai sebuah paradigma, yaitu sebuah pandangan mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter) dari suatu cabang ilmu. Normal science adalah periode berikutnya yang dalam hal ini terjadi akumulasi ilmu pengetahuan. Para ilmuwan bekerja berdasarkan paradigma yang berpengaruh didalamnya dan asumsi yang mendasari dijadikan sebagai dasar memahami kenyataan.[9]

Namun dalam perkembangan selanjutnya—sejalan dengan perkembangan masyarakat—apa yang diyakini sebagai kebenaran itu kemudian mengalami kekacauan (anomali), karena asumsi-asumsi paradigma lama tidak lagi mampu menjawab persoalan yang muncul. Akibatnya timbul krisis karena validitas paradigma lama benar-benar tidak dapat dipertahankan. Pada saat inilah terjadi apa yang menurut Kuhn dengan masa terjadinya revolusi ilmu pengetahuan. Pada saat revolusi ilmu pengetahuan terjadi maka asumsi dan dasar-dasar pemikiran paradigma yang berlaku saat itu tidak lagi dianggap relevan untuk merumuskan pertanyaan dan mengajukan jawaban terhadap fenomena atau kehidupan yang ada. Setelah terjadi revolusi akan ditemukan teori baru, dan dari sinilah dimulai munculnya paradigma baru.[10]

Berdasar atas pemikiran dan rumusan definisi yang disusun oleh para ahli sosiologi tersebut diatas, maka dapat dirumusakan secara sederhana atau palig tidak menangkap poin penting bahwa istilah paradigma dalam masyarakat PMII dapat dirumuskan sebagai titik pijak untuk menentukan cara pandang, menyusun sebuah teori, menyusun pertanyaan dan membuat rumusan mengenai suatu masalah serta medan gerakan yang harus dilakukan oleh PMII. Atau dengan kata lain istilah paradigma bagi PMII merujuk pada bagaimana PMII ‘melihat’ realitas. Lebih sederhana lagi, paradigma tak ubahnya seperti kacamata untuk melihat, memaknai serta menafsirkan realitas, terutama dalam kasus PMII adalah realitas sosial-masyarakat. Dan jika paradigma diaplikasikan secara massif, maka kemudian akan menuai respon berupa arahan dalam bergerak.

B. Teori Kritis

Dari sudut bahasa, perkataan ‘kritis’berasal dari perkataan Inggris, yaitu ‘critic’. Namun begitu kata dasar ‘kritis’merupakan perkataan Greek, ‘kriths’ (kritikos), yang bermaksud menimbang (judge). Menimbang juga membawa maksud menilai (evaluates), membedakan (distinguishes), memutuskan (decide) dan menyoal (question) sesuatu itu benar atau salah.[11] Dalam kamus Ilmiah Populer, ‘kritis’ diartikan dengan genting; gawat; akut; tajam/tegas dan teliti dalam menanggapi atau memberikan penilaian; secara mendalam; tanggap dan mampu melontarkan kritik-kritik.[12] Seperti halnya kata paradigma, kata ‘kritis’ seringkali digunakan dalam berbagai konteks, tetapi teori kritis pada saat ini lebih dimaksudkan sebagai teori yang digunakan untuk menganalisa secara tajam dan teliti terhadap realitas. Jika dilihat secara historis, munculnya istilah kritis sangat berhubungan erat dengan gerakan filsafat neo-marxian Jerman, yaitu yang biasa disebut dengan Madzhab Frankfurt. Horkheimer lah yang pertama kali memunculkan istilah ini.

Teori Kritis, dijelaskan dalam Teori Sosiologi Modern, adalah produk sekelompok ‘Neo-Marxisme’[13] Jerman yang tak puas dengan keadaan teori Marxian, terutama kecenderungannya menuju apa yang mereka sebutdeterminisme ekonomi. Pada tahapan selanjutnya gerakan ini pun menjadi faham yang terlembagakan dalam The Institute of Social Research, Frankfurt Jerman. Adapun tokoh utama madzhab Frankfurt adalah Max Horkheimer (1895-1973), Theodor W. Adorno (1903-1969) dan Herbert Marcuse (1898-1979) yang kemudian dilanjutkan oleh Generasi kedua Mazhab Frankfurt yaitu Jurgen Habermas.[14]

Kritik utama madzhab Frankfurt adalah kehidupan sosial dan intelektual pada saat itu, Mereka berusaha mengungkapkan sifat masyarakat secara lebih akurat. Lebih detail lagi, beberapa kritik yang disuarakan oleh Madzhab Frankfurt adalah kritik terhadap teori Marxian (determinisme ekonomi), positivisme (generalisasi ilmu pengetahuan), (gerakan) sosiologi (pro-status quo) dan kritik terhadap masyarakat modern yang individualis dan sangat dehumanis.

Madzhab Frankfrut mengkarakterisasikan berpikir kritis dengan empat hal; (1) Berpikir dalam totalitas (dialektis); (2) Berpikir empiris-historis; (3) Berpikir dalam kesatuan teori dan praksis; dan (4) Berpikir dalam realitas yang tengah dan terus bekerja. Pada dasarnya mereka mengembangkan apa yang disebut dengan kritik ideologi atau kritik dominasi. Sasaran kritik ini bukan hanya pada struktur sosial, namun juga pada ideologi dominan dalam masyarakat. Teori Kritis berangkat dari empat sumber kritik yang dikonseptualisasikan oleh Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx dan Sigmund Freud atau yang sering dikenal dan disebut dengan Kritik dalam arti Khantian, Kritik dalam arti Hegelian,Kritik dalam arti Marxian dan Kritik dalam arti Freudian.

Jika kita sederhanakan, teori kritis adalah teori yang bukan hanya sekedar pembacaan pasif terhadap problem realitas, tetapi lebih bersifatemansipatoris. Dan teori yangemansipatoris harus memenuhi minimal tiga syarat. Pertama, bersifat kritis dan curiga terhadap segala sesuatu yang terjadi pada zamannya. Kedua, berfikir secara historis, artinya selalu melihat proses perkembangan masyarakat.Ketiga, tidak memisahkan teori dan praksis. Tidak melepaskan fakta dari nilai semata-mata untuk mendapatkan hasil yang obyektif.

C. Kritis yang Transformatif

Kritis saja tidak lah cukup tanpa diimbangi dengan transformatif, sebab kritis hanya sebatas proses analisis yang tentunya masih ‘abstrak’ dan perlu dikristalkan menjadi wujud konkret (gerakan). Paradigma kritis—sebagaimana uraian di atas—adalah sebuah alat analisa, ia baru mampu menjawab serial pertanyaan ‘kekinian’ modernitas. Artinya, baru sampai pada logika dan mekanisme working-systemyang menciptakan relasi tidak adil, hegemonik, dominatif dan eksploitatif, namun belum mampu memberikan perspektif tentang jawaban terhadap formasi sosial tersebut (strategi mentransformasikannya). Oleh sebab itu, ‘transformatif’ dihadirkan dalam rangka melengkapi kemandegan pasca ‘analisa’ atau kontemplasi.

Transformatif adalah adjective dari kata transformasi yang secara leksikaldalam bahasa Inggris ialah transformyang berartikan merubah bentuk atau rupa, transformation merupakan perubahan bentuk atau penjelmaan.[17]Dari pengertian tersebut, maka arti transformatif kurang lebih adalah proses pengubahan dari satu bentuk, yaitu berupa gagasan atau ide dan sistem gerakan menjadi bentuk baru yang mampu menjamah realitas masyarakat pada wilayah tindakan praksis. Contoh-contoh transformasi antara lain adalah transformasi darielitisme ke populisme, dari Negara ke Masyarakat, dari struktur ke kultur, dari individualisme ke massa, atau dari hedonisme ke altruisme.

Dari alur uraian diatas, sejatinya bahwa ‘Transformatif’ dimunculkan dalam konsep paradigma kritis tidak lain adalah dalam rangka untuk membumikan atau memanifestasikan paradigma kritis, sehingga paradigma kritis tidak menjadi sebuah utopia yang melayang-layang, melangit dan jauh dari sasaran, namun membumi dan aplikatif terhadap realitas sosial dan transformatif.

D. Pembacaan PKT Terhadap Realitas Sosial


Pada esensinya bahwa PKT hanyalah produk pemikiran para intelektual, baik Barat maupun Timur. Yang pasti ia dipandang sekuler oleh khalayak, dan bahkan dipandang sebelah mata, khususnya oleh golongan kanan. Meski demikian, PMII justru sangat merespons PKT dengan mengaplikasikannya dalam menjawab problem realitas sosial, khususnya yang dihadapi PMII, dan tentunya juga bahwa PMII melakukanfiltrasi atas PKT.

PKT bagi PMII bukanlah hal yang dogmatis dan dianggap ‘final’, namun bagi PMII bahwa PKT hanyalah sebuah ‘alat analisa’ yang kebetulan dipilih oleh PMII. Memang ada beberapa alasan yang menyebabkan PMII harus memilih PKT sebagai dasar untuk bertindak dan mengaplikasikan pemikiran, serta menyusun cara pandang dalam melakukan analisa.

Pertama, masyarakat Indonesia sedang terbelenggu oleh kekuatan represif imperialis kapitalisme modern disatu sisi, dan disisi yang lain masyarakat dikondisikan untuk berfikir ala positivistik-modernisme yang elitis-individualis dan serba instan. Dalam hal ini PKT menjadi sebuah ‘jurus jitu’ untuk melawan ‘berhala’ modernitas yang sudah menjadi sesembahan.

Kedua, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural, baik etnik, tradisi, budaya, agama maupun kepercayaan. PKT oleh PMII dianggap cocok untuk merepresentasikan dan memposisikan ke-pluralan tersebut. Karena bagi PMII bahwa PKT dipandanginklusif-humanis. Maka dari itu, dengan PKT diharapkan individu-individu atau kelompok-kelompok mempunyai kesempatan yang sama dalam bereksplorasi tanpa saling merugikan dan mengganggu.

PKT oleh PMII juga dipilih untuk melawan secara frontal terhadap sistem politik (rezim Orde Baru) yang represif, otoriter dan menghegemoni masyarakat (baca: mustadl’afin). Dalam kasus ini, memposisikan PKT (critical paradigm)vis a vis dengan paradigma keteraturan (order paradigm)[18]—yang dipakai pemerintahan Orde Baru pada masa itu sangatlah tepat.

Selain masalah sosial-politik, PKT juga dihadirkan dalam rangka menjawab realitas keberagamaan dan sikap terhadap tradisi yang sangattekstualis-dogmatis, sehingga pemahaman dan tindakannya sangatreduksif (kering dan ganjil). Dalam hal ini, PMII meniru semangatnya tokoh ‘Kiri Islam’, seperti Hasan Hanafi, Mohammad Arkoun, Nasir Hamid Abu Zaid, Abid Al-Jabiri, Asghor Ali Enginer dan tokoh-tokoh kiri Islam lainnya. Dan masih masih banyak alasan lain yang mengharuskan kenapa harus ber-PKT.


Pada intinya, PKT ‘ada’ adalah dalam rangka menghapus dehumanisasi, dan menggantinya dengan upaya menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan dari bermacam belenggu kepicikan modernisme. Dan jika kita amati, PKT PMII sangatlah mewarisi semangat yang terkandung dalam Islam, terutama Ahlusssunnah wal Jama’ah(Aswaja).

Leave a Reply

terimakasih atas saran yang sahabat berikan pada kami,kami akan mempertimbangkan saran sahabat untuk memperbaharui dan mengembangkan blog ini

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Komisariat PMII Sufyan Tsauri Majenang - Devil Survivor 2 - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -