- Home >
- LAGU - LAGU MAHASISWA >
- LAGU MARS PMII DAN PENGERTIANNYA
Posted by : farezchaiber.
Monday, November 05, 2018
Inilah kami wahai Indonesia
Satu barisan dan satu cita
Pembela bangsa, penegak agamaTangan terkepal dan maju kemuka
Habislah sudah masa yang suram
Selesai sudah derita yang lama
Bangsa yang jaya
Islam yang benar
Bangun tersentak dari bumiku subur
*Reff :
Denganmu PMII
Pergerakanku
Ilmu dan bakti, ku berikan
Adil dan makmur kuperjuangkan
Untukmu satu tanah airku
Untukmu satu keyakinanku
Inilah kami wahai Indonesia
Satu angkatan dan satu jiwa
Putera bangsa bebas meerdeka
Tangan terkepal dan maju kemuka
Denganmu PMII
Pergerakanku
Ilmu dan bakti, ku berikan
Adil dan makmur kuperjuangkan
Untukmu satu tanah airku
Untukmu satu keyakinanku
Mahbub Junaidi yang ternyata juga terkategorisasi dalam profesi “sastrawan” memulai PMII sebagai sebuah tindak lanjut atas kekecewaannya terhadap HMI karena tidak mampu mewadahi mahasiswa-mahasiswa dari kalangan tradisionalis, seperti juga yang terjadi pada keluarnya NU -sebagai bapak kandung PMII- dari masyumi karena menjamurnya kalangan modernis yang mulai gila kekuasaan dan mendepak satu persatu orang “tradisi” yang dianggap tak berpendidikan karena tak memiliki ijazah, dan ternyata pergolakan itu pun diikuti oleh anak-anak muda di dalamnya –HMI dan PMII-. Masyumi dan kemudian HMI ternyata tidak sadar bahwa pilihan untuk mencabut akar tradisi dari sebuah bangsa adalah sebuah boomerang yang suatu saat akan berdampak negative bagi mereka sendiri. Masyumi yang dibubarkan oleh Soekarno karena banyak anggotanya yang terlibat dengan pemberontakan PRRI PERMESTA dan kemudian menyusul ancaman pembubaran HMI karena gerakannya yang sangat dekat dengan Masyumi namun dicegah oleh Mahbub dengan berkata “jangan bubarkan HMI, saya tahu isi perut HMI” adalah buktinya.
Avant garde yang digagas oleh Rendra dalam teater dan sajak-sajaknya adalah contoh pemberontakan terhadap akar budaya yang hegemonic, akar budaya yang mengatakan bahwa seni adalah sesuatu yang tinggi, yang mahal, yang serius, complicated, dan eksklusif“. Mereka membenci frame berpikir “seni tinggi” karena seni semacam itu adalah milik kaum menengah ke atas yang memiliki estetika semu. Tetapi meskipun Rendra menolak hegemon tradisi, Rendra tetap sadar bahwa tradisi merupakan unsur penting pertahanan dalam sebuah bangsa, sehingga Rendra selalu terkenang dengan akar-akar tradisi dan menjadikan akar tradisi tersebut sebagai pembimbingnya dalam membuat karya-karya eksperimental, yang mengajukan pembaharuan-pembaharuan (pembaharuan yang mempertimbangkan akar tradisi), namun bukan penjiplakan. Inilah yang membuat Rendra besar yang seharusnya mampu ditiru oleh masyumi dan HMI pada masa itu.
Inilah kami wahai Indonesia
Satu barisan dan satu cita
Putera bangsa penegak agama
Tangan terkepal dan maju ke muka
Jika menurut Emmanuel Subangun ada tiga unsur utama dalam setiap bentuk drama modern yaitu teks, pemain dan interpretasi, maka dalam puisi (sajak) menurut Suminto A. Suyuthi ada tiga hal pula yang perlu diperhatikan dalam puisi yaitu pengalaman, informasi dan nilai. Namun Chairil Anwar pernah megatakan bahwa “sebuah sajak yang menjadi adalah sebuah dunia” dan filsafat Deleuze menganggap bahwa hakikat “kejadian” adalah untuk menyusun dan mengubah hal yang bermacam-macam itu ke dalam “satu”. “kejadian” adalah bagian dari proses “menjadi”. Sehingga Goenawan Mohamad menganggap bahwa dalam proses menjadi ini setidaknya ada dua hal yang saling berkaitan yaitu “struktur” dan “ritme”, atau menurut saya pribadi “struktur” berkaitan dengan bahasa dan susunan sajak itu sendiri yang tidak bisa dilepaskan dari pengalaman, informasi dan nilai orang yang membuat sajak tersebut. Dan kemudian “struktur” itu hidup karena didukung dengan adanya ritme yang dalam bahasa Yunani, ruthmos, berarti mengalir. Disini dimensi waktu tampak: mengalir dalam waktu. Ritme itulah logika dari rasa yang dicerap tubuh, sensation, atau dalam bahasa Krisinger dikenal sebagai “ruh” dan dengan itulah sebuah karya menjadi.
Mahbub Junaidi sebagai pengarang lyric dan Shaimoery Wignjo Soebroto sebagai pengarang lagu Mars PMII telah sukses mulai dari bait pertama Mars PMII ini. “Inilah kami wahai Indonesia” menjadi “struktur” pembuka yang serius yang –seolah- ingin menampakkan diri kepada khalayak umum tentang nafas baru sebuah perkumpulan yang tidak lagi main-main dengan visinya, bait ini menurut hemat saya bisa memiliki dua arti yaitu pertama sebuah “ancaman” yang diberikan oleh para pemuda kepada “Indonesia” yang pada awal kemunculan organisasi ini, 1960, banyak sekali mengalami deficit nilai bahkan hal tersebut pun juga dialami organisasi-organisasi kemahasiswaan/kepemudaan lain di masa itu, meski pada masa itu Indonesia diakui dunia sebagai negara besar dan memperlihatkan kemajuan yang signifikan tetapi pada tahun-tahun tersebut pula menjadi awal kemuduran Indonesia, banyak sekali pemberontakan di daerah-daerah, diantaranya DI/TII, permesta, APRA, RMS, Andi Aziz Affair dan beberapa lagi yang mungkin saya lupa.
Kedua adalah menandakan datangnya sebuah angin segar yang ingin di bawa oleh “kami” kepada “Indonesia” yang dibawa oleh para mahasiswa/pemuda yang memiliki “satu barisan dan satu cita” yang menamakan diri sebagai “putera bangsa penegak agama”. Tentunya terdapat konsekuensi logis yang perlu di garis bawahi bagi mereka yang ingin menamakan diri sebagai “putera bangsa penegak agama” yaitu sinkretisme antara konsep kebangsaan dan ke-Tuhan-an. Hal inilah yang menurut saya menjadi sebuah tawaran bagi anak-anak PMII pada waktu itu yang ingin diberikan kepada “Indonesia”. Dalam hal ini tersirat makna bahwa PMII sangat menghargai visi “kebangsaan” yang menurut Soekarno “kebangsaan” dimanapun itu tak terkecuali Indonesia telah memiliki westenchauung (dasar) yang jelas, dan menurut Soekarno westenchauung kebangsaan Indonesia sudah lahir sejak 1913 dan kemudian di bunyikan dalam sumpah pemuda tahun 1928, lalu di formalkan menjadi Pancasila pada masa awal kemerdekaan. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa “putera bangsa” disini mengacu pada semangat sumpah pemuda yang mengaku “berbangsa satu, bangsa Indonesia” dan menghargai serta mengakui “pancasila sebagai dasar negara”.
Jika dalam teori kongesti sosial, Fred Hirsch mengatakan bahwa dalam pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat konon ibarat “barisan yang bergerak”. Artinya barisan terbelakang selalu akan punya jarak dengan barisan terdepan. Jarak itu tetap akan ada, kecuali memang ada beberapa orang di belakang yang berhasil meloncat. Lalu bagaimana dengan gerakan sosial? Toh meskipun ada harapan: sementara barisan bergerak, orang-orang yang di belakang itu suatu saat akan tiba di tempat yang pernah dicapai orang-orang di depan tadi, apakah dengan itu soalnya akan beres dan semua lapisan sosial akan puas? Maka jika kita mengindahkan cultural shock punya Alfin Toffler kapan yang dibelakang akan puas dan melompat selangkah lebih maju dari barisan depan? Bisakah mereka?…Sehingga pada akhirnya “barisan yang bergerak” tidak akan pernah usai dan (mungkin) tak pernah akan puas karena culture dan shock yang ditimbulkan akan berproduksi setip detiknya. Dan kemudian lahirlah “cita-cita” yang beragam dari setiap shock yang ditimbulkan, lalu bagaimana caranya “satu barisan” yang bergerak itu mampu memiliki “satu cita”?
Selain visi kebangsaan, PMII juga ingin memperkenalkan diri sebagai “penegak agama”, agama dalam arti luas karena disinilah letak keberhasilan Mahbub Junaidi dalam menempatkan kata, dirinya menggunakan “agama” dalam arti luas sebelum mengambil sikap menggunakan “islam yang benar” di bait selanjutnya. Hal ini menurut hemat saya menandakan sebuah penghargaan besar terhadap eksistensi agama-agama di Indonesia yang pada saat itu pula sedang mengalami gejolak, terbukti dengan adanya pemberontakan-pemberontakan yang mengatasnamakan agama, khususnya agama islam yang kemudian menjadikan agama tersebut terlihat hegemon sebagai agama mayoritas. Tidak hanya itu bahkan mereka menganggap agama lain seperti Kristen sebagai antek belanda dan musuh bagi mereka. inilah akibat dari apa yang pernah di katakan oleh Rendra ketika dijadikan agama sebagai lencana politik. Sehingga dalam hal ini dapat disimpulkan karena PMII menghargai konsep kebangsaan Indonesia dan konsep ke-Tuhan-an dari berbagai agama, PMII sudah selayaknya tidak akan mengiyakan praktik-praktik politik yang mengatasnamakan agama dan sama sekali mengalahkan bahkan menafikan konsep kebangsaan yang telah dianut di Indonesia. PMII memiliki semangat untuk mewujudkan cita-cita keagamaan yang tidak semerta-merta mengklaim dapat menjadi petunjuk praktis untuk mengubah dunia, karena seperti yang dikatakan Goenawan Mohamad bahwa semangat agama yang paling dasar seharusnya adalah untuk menimbang hidup sebagai yang masih terdiri dari misteri. Tetapi ternyata setelah berkali-kali berganti masa masih saja terdapat agama yang seperti kaum Marxis, menyombong bahwa “segala hal sudah ada jawabnya pada kami” tetapi mereka tak terlanjur sadar bahwa sebenarnya pernyataan itu menantang makna do’a dan mematikan ruh religius itu sendiri. Sebab dalam do’a kita tahu, kita hanya debu.
Semangat “tangan terkepal dan maju ke muka” harus selalu digelorakan sebagai symbol perlawanan orang-orang “tangan kiri” (baca: lemah) terhadap orang-orang “muka” yang menahkodai Indonesia menuju tepi jurang kenistaan yang memiliki klaim-klaim berbagai macam, termasuk klaim teologis, klaim satrio piningit atau bahkan klaim yang menganggap hutang sebagai kebanggaan, seperti yang tercermin dalam pemerintahan orde baru. Semangat “tangan terkepal dan maju ke muka” ini didukung oleh lagu atau irama yang dibuat oleh Shaimoery WS, yang memberikan “ruh” dalam mars PMII, “ruh” yang termanifestasi dalam irama yang menghentak dan penuh semangat ini pula menurut saya telah berhasil menyuarakan “tangan terkepal dan maju ke muka” tanpa kekurangan suatu apapun, sehingga lyric yang diciptakan oleh Mahbub berhasil “menjadi” dan menemukan bentuk utuhnya. Menurut St. Takdir Alisjahbana sesuatu dikatakan berirama apabila memiliki gerak yang teratur. Manusia mengatur gerak sesuatu, membuat sesuatu berirama, untuk mendapat tenaga yang lebih besar dari biasa, dan disini Sahabat Shimoery dapat dikatakan berhasil untuk membuat “sesuatu” dalam mars PMII tersebut berirama, memiliki gerak teratur serta mars PMII memiliki tenaga yang lebih besar daripada hanya sebuah lirik yang diciptakan oleh Mahbub. Tidak hanya sebatas “menggerakkan” ternyata menurut Takdir, bahkan dalam tingkat kecerdasan manusia irama lebih penting dari arti kata, meskipun kemudian kita tidak bisa sepenuhnya menganggap makna dari lirik Mars PMII tersebut tidak berguna.
…………
Sebagai makhluk yang “cogito” manusia selalu saja disibukkan dengan beban pikirannya yang menuntut untuk ingin tahu lebih banyak tentang suatu hal. Kenyataan tersebut akhirnya berbanding lurus dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, eksplorasi terhadap alam bahkan pada akhirnya lebih dekat dengan eksploitasi karena prinsip yang kemudian muncul adalah seluruh instrument alam semesta yang terbatas itu adalah ada untuk mencukupi keinginan manusia yang tak terbatas. Konsep tersebut jika boleh jujur tidak bisa kemudian kita justifikasi bahwa “ah, liberalism adalah sistem perusak” karena secara sadar atau tidak sadar apapun isi kepala kita prinsip pemenuhan kebutuhan pribadi yang diambil dari alam selalu saja berlangsung setiap detik dalam diri kita. Secara psikologis inilah kemudian yang dimaksud Eric Fromm bahwa manusia selalu saja mencari kebahagiaan, sehingga dalam hal ini pula kita ingin mengupayakan dan bergelora meneriakkan “Habislah sudah masa yang suram//Selesai sudah cerita yang lama”. Karena kita menginginkan lahirnya kebahagiaan berupa “Bangsa yang jaya islam yang benar”.
Ok, kita bicara tentang “bangsa yang jaya” dan “islam yang benar”, jika kita berbicara tentang bangsa tentu kita tidak bisa memalingkan muka pada para tokoh pendiri bangsa ini karena merekalah yang meletakkan pondasi dasar terbentuknya bangsa ini yang artinya merekalah yang seharusnya bertanggungjawab untuk memberikan pengertian sebenarnya apa itu yang dimaksud bangsa. Soekarno dalam hal ini pernah mengambil definisi dari seorang sastrawan Prancis yang hidup tahun 1882, Ernest Renan namanya. Bangsa menurutnya adalah suatu nyawa, suatu azas-akal yang sedikitnya terjadi karena dua hal. Pertama, rakyat di masa lalu harus bersama-sama menjalani satu riwayat, dan yang kedua, rakyat yang telah menjalani satu riwayat tersebut sekarang harus mempunyai kemauan, keinginan untuk hidup menjadi satu. Sehingga, dalam hal ini yang menjadikan bangsa bukanlah jenis ras, bahasa, bukan pula agama, persamaan kebutuhan, atau juga batas-batas negara. Namun itu sudah kuno kata Soekarno, Renan tidak melihat konteks Indonesia yang memiliki banyak bangsa yang kemudian menjadi satu bersatu untuk menjadi bangsa yang lebih besar, tanpa meninggalkan kebangsaan primordialnya. Bangsa-bangsa yang memiliki semangat untuk “Maju tersentak dari bumiku subur”, bumi Indonesia yang katanya gemah ripah loh jinawi, yang memiliki kapasitas untuk membuat manusia di dalamnya “lebih bahagia” karena memiliki kesempatan untuk dapat lebih terpenuhi keinginan tak terbatasnya. Sehingga, disini pulalah lahir banyak orang-orang pintar, lahir berbagai golongan, termasuk golongan yang masih tergolong baru dari golongan-golongan lain, yaitu golongan terpelajar atau yang sering disebut Marx sebagai orang-orang middle class, merekalah para pemuda, mahasiswa
Seperti halnya hukum kausalitas bahwa semakin berkembangnya zaman maka semakin berkembang pula kebutuhan manusia dan semakin berkembangnya kebutuhan manusia maka semakin berkembang pula cara manusia untuk dapat memenugi kebutuhan tersebut terlebih lagi ketika manusia tersebut berada dalam suatu ketertekanan, itulah prinsip escape from freedom dari Eric Fromm, semakin bebas manusia maka kebebasan tersebut semakin membuat manusia tersebut kebingungungan, artinya sebaliknya semakin tertekan manusia maka semakin membuat manusia tersebut terbebas dari penjara kebingungan, atau juga yang dikatakan Freud bahwa situasi yang menekan akan memupuk alam nirsadar seseorang yang kemudian hal tersebut akan melahirkan defence mechanism tertentu pada diri seseorang untuk dapat bebas dari situasi keterkekangan akan situasi tersebut dalam keadaan tidak sadar, dan inilah kemudian yang akan membentuk kedewasaan seseorang. Hal ini dapat dilihat di masa pra dan pasca kemerdekaan yang melahirkan banyak pemikir-pemikir yang kapasitasnya tak dapat diragukan dalam memikirkan bagaimana lepas dari penjajahan dan membuat Indonesia yang masih seumur jagung ini menjadi lebih makmur, di sinilah lahir banyak ideologi dan gerakan yang masing-masing “mengklaim” bahwa gerakan dan ideologi tersebutlah yang mampu mengarahkan Indonesia berada pada posisi lebih makmur. Klaim-kalaim tersebutlah yang akhirnya yang membuat Indonesia yang masih seumur jagung seringkali terjadi chaos, lahir banyak gerakan makar dengan ideologinya masing-masing, termasuk juga yang menggunakan embel-embel islam. Kemudian 15 tahun setelah kemerdekaan lahirlah PMII yang mengusung konsep penengah yang rahmatan lil’alamin, yaitu islam ahlussunnah wal-jama’ah (ASWAJA), di mana konsep tersebut merupakan konsep yang diusung oleh Nahdlatul ‘Ulama’ (NU) dan PMII sebagai organ yang pada awalnya memang lahir dari NU juga mengusung konsep tersebut. Dan konsep inilah menurut saya yang tersirat dalam sepenggeal bait “islam yang benar”.
…………….
“Bangsa yang jaya” dan “islam yang benar” tentunya tidak hanya butuh semangat untuk “maju tersentak dari bumiku subur” tetapi pula butuh wadah untuk menghimpun manusia untuk dapat maju tersentak, yaitu “denganmu PMII” sebagai “pergerakanku” tempat di mana “ilmu dan bakti ku berikan” untuk memperjuangkan keadilan dan kemakmuran di tanah air yang menjadi milik kita dengan keintiman yang sangat sehingga menggunakan kata ganti “ku” dalam “tanah airku”. Karena kata ganti “ku” dalam menyatakan kepemilikan yang sebenarnya dimiliki bersama salah satunya adalah menandakan sebuah keintiman, kata Musthofa W. Hasyim atau dalam balaghoh mengikuti kaidah taghlibul mufrad ila jam’I (memenangkan subjek spesifik dari yang umum –jama’-) dengan asumsi bahwa yang spesifik tersebut sebenarnya sudah mewakili yang umum karena kenyataan kepemilikan yang sebenarnya spesifik. Ilmu dan bakti pula benar-benar direlakan untuk terwujudnya keadilan dan kemakmuran di dalam “keyakinan” kader-kader PMII yaitu keyakinan “islam yang benar” yang dikunci pula dengan “ku” pada “untukmu satu tanah airku//untukmu satu keyakinanku”.
Lalu, apakah makna dari “ilmu” dan “bakti” itu sendiri? Mari kita sejenak mengulasnya. Raja melankolis jawa bergelar mangkunegaran IV adalah seorang pujangga juga, punya serat berisi wejangan-wejangan kehidupan salah satunya berjudul “wedatama” yang di dalamnya ada salah satu tembang pocung tentang diskripsi ilmu (mungkin juga bakti), katanya “ngelmu iku kelakone kanthi laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani, setya budaya pangekese dur angkara” atau mungkin dalam bahasa Indonesia kurang lebih begini: ilmu itu dapat terwujud apabila dijalankan. Dimulai dengan kemauan. Kemauan inilah yang membuat sentosa, budi yang setia itu penghancur nafsu angkara. Kalian tau pelukis S. Sudjojono? Beliau pernah ditanya dengan teori apa dia melukis. Jawabannya: “tak pakai teori. Apa saudara pernah membikin teorinya naik sepeda?”. Satu yang diingat yang pernah diwejang oleh Goenawan Mohamad bahwa memperoleh kearifan bukanlah cuma kegiatan teoritis, kita tak jadi bijaksana, bersih hati dan bahagia terlebih lagi mampu berguna bagi sesame hanya dengan membaca buku petunjuk yang judulnya bermula dengan How to….kita harus terjun, kadang hanyut, kadang berenang dalam pengalaman.
Pengetahuan memang tak cuma sampai pada kita melalui anak tangga argumen, tapak demi tapak discourse. Banyak momen dalam hidup di mana kita langsung tahu, langsung mengerti dan mengangguk. Misalnya penghayatan akan hadirnya Tuhan tidaklah kita dapatkan dari konklusi debat. Persentuhan dengan apa yang dalam literature sufi jawa disebut kesunyatan memang sesuatu yang lain dari sekedar kehebatan menghafal ucapan nabi. Ada banyak yang menguasai pengetahuan namun sedikit yang bermoral dan mengerti (kemudian menjalankan dan menegakkan) keadilan, begitu juga banyak yang menghafal ucapan nabi namun ucapan bahkan tangisan orang-orang disekitarnya tetap tak mampu hanya sekedar menjadi bunyi. Sehingga bentuk darma bakti PMII adalah dzikir, fikir dan amal sholeh, yang meskipun mengakui bahwa teori bukanlah subtitusi bagi pengelaman, tak berarti harus mengakui, laku dan penghayatan langsung (pengetahuan intuitif) adalah sesuatu yang gaib, sebab intuisilah sebenarnya yang mendasari pengenalan kita sehari-hari. Meskipun pada laku kesehariannya PMII selalu menekankan kader-kadernya membaca teori-teori dalam buku karena nyatanya tak mudah lagi mencari orang yang benar-benar memiliki pengalaman untuk dijadikan sebagai subtitusi teori. “setya budaya pangekese dur angkara (budi yang setia itu penghancur nafsu angkara)”
Inilah kami wahai Indonesia
Satu angkatan dan satu jiwa
Putera bangsa bebas merdeka
Tangan terkepal dan maju
Setelah berbicara kenyataan sejarah yang melatarbelakangi lahirnya PMII, tujuan bergerak, apa yang diperjuangkan, ideologi yang digunakan, wadah pergerakan dan subjek yang menjadi target gerakan PMII akhirnya Mars PMII ini berbicara tentang angkatan. Menurut Goenawan Mohamad yang menarik dari angkatan adalah pada dasarnya suatu angkatan merupakan suatu antithesis. Kata ini bagaimanapun juga lebih militan ketimbang “generasi”. Dan ketika kita berbicara tentang “angkatan” dalam sejarah kita, secara tersirat kita sebenarnya berbicara tentang sesuatu yang ditolak, didobrak, dijebol. Dengan demikian kita sebenarnya membayangkan sejarah kita atau katakanlah kondisi kita di masa lalu dan (mungkin) masa yang akan datang (akan) selalu diliputi dengan peristiwa kontradiksi, atau bahkan konflik. Sehingga “tangan terkepal dan maju ke muka” seharusnya tak hanya selesai pada selogan semu yang kemudian begitu mudah dilupakan, tanpa adanya militansi. Dan pada akhirnya kecendrungan middle class yang seringkali kabur melihat posisinya yang (malahan) berujung pada sikap borjuasi dengan “pembelaan atas rakyat” semunya semakin menjamur seperti yang dikatakan Marx, atau juga yang serupa dikatakan Goenawan Mohamad terkait pemuda, ada yang muda abadi dan ada yang muda tak abadi, pada suatu hari kelak muda yang tak abadi akan berubah, mungkin atau bahkan pasti. Katanya, barangkali mereka jadi buncit dan sembelit, sibuk dengan urusan kemakmuran anak-beranak dan keselamatan diri. Dan pada saat itu mereka yang “muda tak abadi” itu bukan lagi “seangkatan” kaum “muda yang abadi”. Dan semua itu sudah terbukti, karena PMII sudah berdiri 55 tahun lamanya, lalu lihatlah siapa “yang muda abadi” dan “yang muda tak abadi”?.
GANTI HALAMA