- Home >
- kekoprian , MATERI TAMBAHAN >
- STUDI GENDER DAN KELEMBAGAAN KOPRI
Posted by : farezchaiber.
Tuesday, November 06, 2018
PENDAHULUAN
Citra bahwa laki-laki itu kuat dan rasional sementara perempuan lemah dan emosional merupakan konstruksi budaya. Citra tersebut bukanlah kodrat. Pembeda laki-laki dan perempuan terletak pada biologisnya, itulah yang disebut kodrat.
Konstruksi budaya di atas seringkali disalahartikan sebagai kodrat sehingga menimbulkan rantai ketidakadilan yang cenderung menindas baik laki-laki dan khususnya perempuan. Ketidakadilan tersebut telah berlangsung selama berabad-abad, setua peradaban manusia.
PMII memiliki komitmen terhadap keadilan gender, dan diwujudkan melalui pelembagaan gerakan perempuan bernama KOPRI. Dalam perjalanan, KOPRI melewati berbagai dinamika. Sempat dibekukan kemudian dalam KONGRES di Kutai (2003) direkomendasikan untuk diaktifkan kembali.
B. GENDER DAN GERAKAN PEREMPUAN
1. Pengertian Gender
Menurut bahasa, kata gender diartikan sebagai “the grouping of words into masculine, feminine, and neuter, according as they are regarded as male, female or without sex” yang artinya gender adalah kelompok kata yang mempunyai sifat, maskulin, feminin, atau tanpa keduanya (netral). Dapat dipahami bahwa gender adalah perbedaan yang bukan biologis dan juga bukan kodrat Tuhan. Konsep gender sendiri harus dibedakan antara kata gender dan kata seks (jenis kelamin).
Kata gender jika ditinjau secara terminologis merupakan kata serapan yang diambil dari bahasa Inggris. Kata Gender berasal dari bahasa Inggris berarti “jenis kelamin” (John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggeris Indonesia, cet. XII, 1983, hlm. 265). Dalam Webster’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku (Victoria Neufeldt (ed), Webster’s New World Dictionary, 1984, hlm. 561). Di dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat (Helen Tierney (ed), Women’s Studies Encylopedia, vol. I, New York: Green Wood Press,, h.153.).
Karena istilah gender masih sangat baru dipergunakan dalam blantika perbendaharaan kata di Indonesia, maka kata tersebut tidak dijumpai dalam kamus-kamus bahasa Indonesia. Namun, kata ini terus melakukan proses asimilasi dengan bahasa Indonesia. Pengaruh kuat dari sosialisasi dalam masyarakat maka kata tersebut tidak lagi ditulis dengan huruf italik karena sudah seakan-akan dianggap bagian dari bahasa Indonesia, demikian juga dalam penulisan sebagian telah menggunakan kata gender menjadi gender.
Kata gender ini jika dilihat posisinya dari segi struktur bahasa (gramatikal) adalah bentuk nomina (noun) yang menunjuk kepada arti jenis kelamin, sex (Peter Salim, Advance English-Indonesia Dictionary, edisi ketiga, Jakarta: Modern English Press, 1991, h. 384), atau disebut dengan al-jins dalam bahasa Arab Hans (Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, cet. III, London: McDonald & Evans Ltd., 1980, h. 141. Lihat pula Munir Ba’albakiy, Al-Maurid: Qāmūs Injilizīy Arabīy, Beirūt: Dār al- ‘Ilm li al-Malāyīn, 1985, h. 383). Sehingga jika seseorang menyebut atau bertanya tentang gender maka yang dimaksud adalah jenis kelamin––dengan menggunakan pendekatan bahasa. Kata ini masih terbilang kosa kata baru yang masuk ke dalam khazanah perbendaharaan kata bahasa Indonesia. Istilah ini menjadi sangat lazim digunakan dalam beberapa dekade terakhir.
Pengertian gender secara terminologis cukup banyak dikemukakan oleh para feminis dan pemerhati perempuan. Julia Cleves Musse dalam bukunya Half the World, Half a Chance mendefinisikan gender sebagai sebuah peringkat peran yang bisa diibaratkan dengan kostum dan topeng pada sebuah acara pertunjukan agar orang lain bisa mengidentifikasi bahwa kita adalah feminim atau maskulin (Lihat Julia Cleves Mosse, Half the World, Half a Chance: an Introduction to Gender and Development, terjemahan Hartian Silawati dengan judul Gender dan Pembangunan, cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 3.)
Suke Silverius memberi pengertian tentang gender sebagai pola relasi hubungan antara laki-laki dan wanita yang dipakai untuk menunjukkan perangkat sosial dalam rangka validitasi dan pelestarian himpunan hubungan-hubungan dalam tatanan sosial (Lihat Suke Silberius, Gender dalam Budaya Dehumanisasi dari Proses Humanisasi, Kajian Dikbud, No. 013, Tahun IV, Juni 1998,
Ivan Illich mendefinisikan gender dengan pembeda-bedaan tempat, waktu, alat-alat, tugastugas, bentuk pembicaraan, tingkah laku dan persepsi yang dikaitkan dengan perempuan dalam budaya sosial. Illich dianggap sebagai orang yang pertama menggunakan istilah gender dalam analisis ilmiahnya untuk membedakan segala sesuatu di dalam masyarakat yang tidak hanya terbatas pada penggunaan jenis kelamin semata (Lihat Siti Ruhaini Dzuhayatin, “Gender dalam Persfektif Islam: Studi terhadap Hal-hal yang Menguatkan dan Melemahkan Gender dalam Islam”, dalam Mansour Fakih et al, Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam, cet. I (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. 23. Ivan Illich menulis buku Gender, diterjemahkan oleh Omi Intan Naomi dengan judul Gender, cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Zaitunah Subhan mengemukakan bahwa yang dimaksud gender adalah konsep analisis yang dipergunakan untuk menjelaskan sesuatu yang didasarkan pada pembedaan laki-laki dan perempuan karena konstruksi sosial budaya (Lihat Zaitunah Subhan, “Gender dalam Perspektif Islam”, dalam jurnal Akademika, vol. 06, No. 2, Maret, h. 128).
Pengertian yang lebih kongkrit dan lebih operasioanal dikemukakan oleh Nasaruddin Umar bahwa gender adalah konsep kultural yang digunakan untuk memberi identifikasi perbedaan dalam hal peran, prilaku dan lain-lain antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di dalam masyarakat yang didasarkan pada rekayasa sosial (Lihat Nasaruddin Umar, “Perspektif Gender dalam Islam”, jurnal Paramadina, Vol. I. No. 1, Juli–Desember 1998, h. 99).
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa gender adalah sebuah konsep yang dijadikan parameter dalam pengidentifikasian peran laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada pengaruh sosial budaya masyarakat (social contruction) dengan tidak melihat jenis biologis secara equality dan tidak menjadikannya sebagai alat pendiskriminasian salah satu pihak karena pertimbangan yang sifatnya biologis.
Hilary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex & Gender: An Introduction mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women and men). Pendapat ini sejalan dengan pendapat kaum feminis, seperti Lindsey yang menganggap semua ketetapan masyarakat prihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah termasuk bidang kajian gender (What a given society defines as masculine or feminim is a componen of gender) (Linda L. Lindsey, Gender Roles a Sociological Perspective, New Jersey: Prentice Hall, 1990, h. 2.)
H. T. Wilson dalam Sex and Gender mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan pengaruh faktor budaya dan kehidupan kolektif dalam membedakan laki-laki dan perempuan (H. T. Wilson, Sex and Gender, Making Cultural Sense or Civilization, Leiden, New York: Kobenhavn, Koln: E. J. Brill, 1989, h. 2.). Agak sejalan dengan pendapat yang dikutip Showalter yang mengartikan gender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya, tetapi menekankan gender sebagai konsep analisa yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu (Gender is an anality concept whose meanings we work to elucidate, and subject matter we proceed to study as we try to define it) (Elaine Showalter (ed), Speaking of Gender, New York & London: Routledge, 1989, h. 3).
Kata gender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetapi istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dengan istilah “gender”. Gender diartikan sebagai interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Gender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tetap bagi laki-laki dan perempuan (Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Buku III: Pengantar Teknik Analisa Jender, 1992, h. 3).
Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social contructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati.
Sedangkan pengertian paham kesetaraan gender -seperti yang dikutip Nasaruddin Umar dari Women's Studies Encyclopedia-, adalah "konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat".
Ada beberapa definisi gender lainnya yang dia kutip, namun mempunyai pengertian yang tidak jauh berbeda, yang pada intinya tidak terlepas dari tiga kata kunci: laki-laki, perempuan dan kebudayaan.
2. Gender dalam Islam
Di dalam ayat-ayat al-Qur’an maupun as-Sunnah Nabi yang merupakan sumber utama ajaran Islam, terkandung nilai-nilai universal yang menjadi petunjuk bagi kehidupan manusia dulu, kini dan akan datang. Nilai-nilai tersebut antara lain nilai kemanusiaan, keadilan, kemerdekaan, kesetaraan dan sebagainya. Berkaitan dengan nilai keadilan dan kesetaraan, Islam tidak pernah mentolerir adanya perbedaan atau perlakuan diskriminasi diantara umat manusia. Berikut ini beberapa hal yang perlu diketahui mengenai kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an.
Dalam al-Qur’an surat Al-Isra ayat 70 yang berbunyi (ditulis al-Qur’annya dalam buku perempuan sebagai kepala rumah tangga hal 41) bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia yaitu laki-laki dan perempuan dalam bentuk yang terbaik dengan kedudukan yang paling terhormat. Manusia juga diciptakan mulia dengan memiliki akal, perasaan dan menerima petunjuk. Oleh karena itu Al-quran tidak mengenal pembedaan antara lelaki dan perempuan karena dihadapan Allah SWT, lelaki dan perempuan mempunyai derajat dan kedudukan yang sama, dan yang membedakan antara lelaki dan perempuan hanyalah dari segi biologisnya.
Islam mengajarkan umatnya untuk saling menghargai dan menghormati. Menurut Lily Zakiyah Munir (Kompas, 20 Oktober 2005) "Ada sekitar 30 ayat Al Quran yang mengacu pada kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dan hak perempuan. Lebih lanjut Lily Zakiyah Munir juga menyebutkan bahwa Al Quran juga melarang paling tidak enam bentuk kekerasan terhadap perempuan yang lumrah terjadi di masyarakat Arab pada saat itu. (Asrizal Lutfi, 2008).
Adapun dalil-dalil dalam al-Qur’an yang mengatur tentang kesetaraan gender adalah:
a. Tentang hakikat penciptaan lelaki dan perempuan
Surat Ar-Rum ayat 21, surat An-nisa ayat 1, surat Hujurat ayat 13 yang pada intinya berisi bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia berpasang-pasangan yaitu lelaki dan perempuan, supaya mereka hidup tenang dan tentram, agar saling mencintai dan menyayangi serta kasih mengasihi, agar lahir dan menyebar banyak laki-laki dan perempuan serta agar mereka saling mengenal. Ayat -ayat diatas menunjukkan adanya hubungan yang saling timbal balik antara lelaki dan perempuan, dan tidak ada satupun yang mengindikasikan adanya superioritas satu jenis atas jenis lainnya.
b. Tentang kedudukan dan kesetaraan antara lelaki dan perempuan
Surat Ali-Imran ayat 195, surat An-Nisa ayat 124, surat An-nahl ayat 97, surat Ataubah ayat 71-72, surat Al-Ahzab ayat 35. Ayat-ayat tersebut memuat bahwa Allah SWT secara khusus menunjuk baik kepada perempuan maupun lelaki untuk menegakkan nilai-nilai islam dengan beriman, bertaqwa dan beramal. Allah SWT juga memberikan peran dan tanggung jawab yang sama antara lelaki dan perempuan dalam menjalankan kehidupan spiritualnya. Dan Allah pun memberikan sanksi yang sama terhadap perempuan dan lelaki untuk semua kesalahan yang dilakukannya. Jadi pada intinya kedudukan dan derajat antara lelaki dan perempuan dimata Allah SWT adalah sama, dan yang membuatnya tidak sama hanyalah keimanan dan ketaqwaannya.
3. Prinsip Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an
Menurut D.R. Nasaruddin Umar dalam "Jurnal Pemikiran Islam tentang Pemberdayaan Perempuan" (2000) ada beberapa hal yang menunjukkan bahwa prinsip-prinsip kesetaraan gender ada di dalam Qur’an, yakni:
a. Perempuan dan Laki-laki Sama-sama Sebagai Hamba
Menurut Q.S. al-Zariyat (51:56), (ditulis al-Qur’annya dalam buku argumen kesetaraan gender hal 248) Dalam kapasitas sebagai hamba tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal. Hamba ideal dalam Qur’an biasa diistilahkan sebagai orang-orang yang bertaqwa (mutaqqun), dan untuk mencapai derajatmutaqqun ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atau kelompok etnis tertentu, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Hujurat (49:13).
b. Perempuan dan Laki-laki sebagai Khalifah di Bumi
Kapasitas manusia sebagai khalifah di muka bumi (khalifah fi al’ard) ditegaskan dalam Q.S. al-An’am(6:165), dan dalam Q.S. al-Baqarah (2:30) Dalam kedua ayat tersebut, kata ‘khalifah" tidak menunjuk pada salah satu jenis kelamin tertentu, artinya, baik perempuan maupun laki-laki mempunyai fungsi yang sama sebagai khalifah, yang akan mempertanggungjawabkan tugas-tugas kekhalifahannya di bumi.
c. Perempuan dan Laki-laki Menerima Perjanjian Awal dengan Tuhan
Perempuan dan laki-laki sama-sama mengemban amanah dan menerima perjanjian awal dengan Tuhan, seperti dalam Q.S. al A’raf (7:172) yakni ikrar akan keberadaan Tuhan yang disaksikan oleh para malaikat. Sejak awal sejarah manusia dalam Islam tidak dikenal adanya diskriminasi jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan yang sama. Qur’an juga menegaskan bahwa Allah memuliakan seluruh anak cucu Adam tanpa pembedaan jenis kelamin. (Q.S. al-Isra’/17:70)
Adam dan Hawa Terlibat secara Aktif Dalam Drama Kosmis
Semua ayat yang menceritakan tentang drama kosmis, yakni cerita tentang keadaan Adam dan Hawa di surga sampai keluar ke bumi, selalu menekankan keterlibatan keduanya secara aktif, dengan penggunaan kata ganti untuk dua orang (huma), yakni kata ganti untuk Adam dan Hawa, yang terlihat dalam beberapa kasus berikut:
1. Keduanya diciptakan di surga dan memanfaatkan fasilitas surga (Q.S.al-Baqarah/2:35).
2. Keduanya mendapat kualitas godaan yang sama dari setan (Q.S.al-A’raf/7:20)
3. Sama-sama memohon ampun dan sama-sama diampuni Tuhan (Q.S.al A’raf/7:23)
4. Setelah di bumi keduanya mengembangkanketurunan dan saling melengkapi dan saling membutuhkan (Q.S.al Baqarah/2:187)
e. Perempuan dan Laki-laki Sama-sama Berpotensi Meraih Prestasi
Peluang untuk meraih prestasi maksimum tidak ada pembedaan antara perempuan dan laki-laki ditegaskan secara khusus dalam 3 (tiga) ayat, yakni: Q.S. Ali Imran /3:195; Q.S.an-Nisa/4:124; Q.S.an-Nahl/16:97. Ketiganya mengisyaratkan konsep kesetaraan gender yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spiritual maupun karier profesional, tidak mesti didominasi oleh satu jenis kelamin saja.
Karena adanya implementasi yang salah dari ajaran agama tersebut yang di sebabkan oleh pengaruh faktor sejarah, lingkungan budaya dan tradisi yang patriarkat didalam masyarakat, sehingga menimbulkam sikap dan prilaku individual yang secara turun-temurun menentukan status kaum perempuan dan ketimpangan Gender tersebut. Hal inilah yang kemudian menimbulkan mitos-mitos salah yang disebarkan melalui nilai-nilai dan tafsir-tafsir ajaran agama yang keliru mengenai keunggulan kaum lelaki dan melemahkan kaum perempuan.
Adapun pandangan dasar atau mitos-mitos yang menyebabkan munculnya ketidakadilan terhadap perempuan adalah :
a. Keyakinan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, sehingga perempuan dianggap sebagai mahluk kedua yang tidak akan mungkin ada tanpa kehadiran laki-laki. karenanya keberadaan perempuan hanya sebagai pelengkap dan diciptakan hanya untuk tunduk di bawah kekuasaan laki-laki.
b. Keyakinan bahwa perempuan sebagai sumber dari terusirnya manusia (laki-laki) dari surga, sehingga perempuan dipandang dengan rasa benci, curiga dan jijik, bahkan lebih jauh lagi perempuan dianggap sebagai sumber malapetaka
Bias gender yang mengakibatkan kesalahpahaman terhadap ajaran Islam terkait pula dengan hal-hal lain seperti: Pembakuan Tanda Huruf, Tanda Baca dan Qira’ah, Pengertian Kosa Kata (Mufradat), Penetapan Rujukan Kata Ganti (damir), Penetapan Arti Huruf ‘Atf, Bias Dalam Struktur Bahasa Arab, Bias Dalam Terjemahan Qur’an, Bias Dalam Metode Tafsir, Pengaruh Riwayat Isra’iliyyat, serta bias dalam Pembukuan maupun Pembakuan Kitab-kitab Fikih. (Nasaruddin Umar, 2002).
Al-Qur’an tidak mengajarkan diskriminasi antara lelaki dan perempuan sebagai manusia. Dihadapan Allah SWT lelaki dan perempuan mempunyai derajat dan kedudukan yang sama. Oleh karena itu pandangan-pandangan yang menyudutkan posisi perempuan sudah selayaknya diubah, karena Qur’an selalu menyerukan keadilan (Q.S.al-Nahl/16:90); keamanan dan ketentraman (Q.S. an-Nisa/4:58); mengutamakan kebaikan dan mencegah kejahatan (Q.S.Ali Imran/3:104) Ayat-ayat inilah yang dijadikan sebagai maqasid al-syari’ah atau tujuan-tujuan utama syariat. Jika ada penafsiran yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan dan hak asasi manusia, maka penafsiran itu harus ditinjau kembali.
3. Gender sebagai Kerangka Analisis
Gender merupakan analisis yang digunakan dalam menempatkan posisi setara antara laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan tatanan masyarakat sosial yang lebih egaliter. Jadi, gender bisa dikategorikan sebagai perangkat operasional dalam melakukan measure (pengukuran) terhadap persoalan laki-laki dan perempuan terutama yang terkait dengan pembagian peran dalam masyarakat yang dikonstruksi oleh masyarakat itu sendiri. Gender bukan hanya ditujukan kepada perempuan semata, tetapi juga kepada laki-laki. Hanya saja, yang dianggap mengalami posisi termarginalkan sekarang adalah pihak perempuan, maka perempuanlah yang lebih ditonjolkan dalam pembahasan untuk mengejar kesetaraan gender yang telah diraih oleh laki-laki beberapa tingkat dalam peran sosial, terutama di bidang pendidikan karena bidang inilah diharapkan dapat mendorong perubahan kerangka berpikir, bertindak, dan berperan dalam berbagai segmen kehidupan sosial.
Perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan adalah kodrat Tuhan karena secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis. Sedangkan gender adalah perbedaaan tingkah laku antara laki-laki dan perempuan yang secara sosial dibentuk. Perbedaan yang bukan kodrat ini diciptakan melalui proses sosial dan budaya yang panjang. Misalnya seperti apa yang telah kita ketahui bahwa perempuan dikenal sebagai sosok yang lemah lembut, emosional, dan keibuan sehingga biasa disebut bersifat feminin. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa dan disebut bersifat maskulin.
Pada hakikatnya ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya, ada laki-laki yang memiliki sifat emosional dan lemah lembut. Dan sebaliknya, ada pula wanita yang kuat, rasional dan perkasa. Oleh karena itu gender dapat berubah dari individu ke individu yang lain, dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat, bahkan dari kelas sosial yang satu ke kelas sosial yang lain. Sementara jenis kelamin yang biologis akan tetap dan tidak berubah.
Gender tidak bersifat biologis, melainkan dikontruksikan secara sosial. Karena gender tidak dibawa sejak lahir, melainkan dipelajari melalui sosialisasi, oleh sebab itu gender dapat berubah. Dalam berbagai masyarakat atau kalangan tertentu dapat kita jumpai nilai dan aturan agama ataupun adat kebiasaaan yang dapat mendukung dan bahkan melarang keikutsertaan anak perempuan dalam pendidikan formal, sebagai akibat ketidaksamaan kesempatan demikian maka dalam banyak masyarakat dapat dijumpai ketimpangan dalam angka partisipasi dalam pendidikan formal.
Gender adalah pandangan atau keyakinan yang dibentuk masyarakat tentang bagaimana seharusnya seorang perempuan atau laki-laki bertingkah laku maupun berpikir. Misalnya Pandangan bahwa seorang perempuan ideal harus pandai memasak, pandai merawat diri, lemah-lembut, atau keyakinan bahwa perempuan adalah mahluk yang sensitif, emosional, selalu memakai perasaan. Sebaliknya seorang laki-laki sering dilukiskan berjiwa pemimpin, pelindung, kepala rumah-tangga, rasional, tegas dan sebagainya. Singkatnya, gender adalah jenis kelamin sosial yang dibuat masyarakat, yang belum tentu benar. Berbeda dengan Seks yang merupakan jenis kelamin biologis ciptaan Tuhan, seperti perempuan memiliki vagina, payudara, rahim, bisa melahirkan dan menyusui sementara laki-laki memiliki jakun, penis, dan sperma, yang sudah ada sejak dahulu kala.
Ketika gender membahas kesetaraan laki-kali dan perempuan, maka gerakan kaum perempuan yang memperjuangkan kesetaraan tersebut sering disebut dengan gerakan feminisme. Pada dasarnya, feminisme adalah paham yang beragam, bersaing dan bahkan bertentangan dengan teori-teori sosial, gerakan politik dan falsafah moral. Kebanyakan paham ini dimotivasi dan difokuskan perhatiannya pada pengalaman perempuan, khususnya dalam istilah-istilah ketidakadilan sosial, politik dan ekonomi.
Salah satu tipe utama dari feminisme secara institusional, difokuskan pada pembatasan atau pemberantasan ketidakadilan gender untuk mempromosikan berbagai hak, kepentingan dan isu-isu kaum perempuan dalam masyarakat. Tipe lainnya yang berlawanan dengan feminisme modern, -dengan akar sejarahnya yang mendalam-, memfokuskan pada pencapaian dan penegakan hak keadilan oleh dan untuk perempuan, dengan dihadap-hadapkan dengan laki-laki, untuk mempromosikan kesamaan hak, kepentingan dan isu-isu menurut pertimbangan gender. Jadi, seperti halnya suatu ideologi, gerakan politik atau filsafat manapun, tidak pernah didapati bentuk feminis yang tunggal dan universal yang mewakili semua aktivis feminis.
Dalam menggemakan feminis anarkhis, seperti Emma Goldman, telah berasumsi bahwa hirarkhi dalam bisnis, pemerintahan dan semua organisasi perlu dirombak dengan desentralisasi ultra-demokrasi. Sebagian feminis lainnya berpendapat bahwa pemimpin pusat (central leader) dalam organisasi apapun berasal dari struktur kekeluargaan yang andosentrik. Maka struktur seperti ini perlu dirombak. Oleh sebab itu, para sarjana tersebut melihat bahwa esensi feminisme sebenarnya adalah isu seks dan gender.
4. Gerakan Perempuan dan Kapitalisme
Para aktivis politik feminis pada umumnya mengkampanyekan isu-isu seperti hak reproduksi, (termasuk hak yang tidak terbatas untuk memilih aborsi, menghapus undang-undang yang membatasi aborsi dan mendapatkan akses kontrasepsi), kekerasan dalam rumah tangga, meninggalkan hal-hal yang berkaitan dengan keibuan (maternity leave), kesetaraan gaji, pelecehan seksual (sexual harassment), pelecehan di jalan, diskriminasi dan kekerasan seksual (sexual violence). Isu-isu ini dikaji dalam sudut pandang feminisme, termasuk isu-isu patriarkhi dan penindasan.
Sekitar tahun 1960an dan 1970an, kebanyakan dari feminisme dan teori feminis telah disusun dan difokuskan pada permasalahan yang dihadapi oleh wanita-wanita Barat, ras kulit putih dan kelas menengah. Kemudian permasalahan-permasalahan tersebut diklaim sebagai persoalan universal mewakili seluruh wanita. Sejak itu, banyak teori-teori feminis yang menantang asumsi bahwa "perempuan" merupakan kelompok individu-individu yang serba sama dengan kepentingan yang serupa. Para aktivis feminis muncul dari beragam komunitas dan teori-teorinya mulai merambah kepada lintas gender dengan berbagai identitas sosial lainnya, seperti ras dan kelas (kasta). Banyak kalangan feminis saat ini berargumen bahwa feminisme adalah gerakan yang muncul dari lapisan bawah yang berusaha melampaui batasan-batasan yang didasarkan pada kelas sosial, ras, budaya dan agama, yang secara kultural dikhususkan dan berbicara tentang isu-isu yang relevan dengan wanita dalam sebuah masyarakat.
Gerakan perempuan tidak bisa dilepaskan pada kepentngan kapitalisme. Secara etimologis, kenapa muncul gerakan perempuan? Hari ini baru ada 3 fase:
Pertama, Fase Kolonialisme. Mereka melakukan penjajahan pada kita karena menilai daerah kita ini menguntungkan. Pada prinsipnya, mereka mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan melakukan penjajah yang mempunyai resource. Indonesia masuk fase pertama dalam kapitalisme ini. Kita tahu kondisi perempuan pada era ini. Mereka tidak punya akses untuk pendidikan, yang punya hanya kelompok priyayi. Ini sebenarnya perebutan antara kelompok kapitalisme dan sosialisme. Gerakan perempuan belum ada bahkan masyarakat lainnya pun tidak ada.
Kita waktu itu belum tahun kenapa hasil bumi kita diserahka kepada Belanda? Mereka hanya tahu hasil bumi mereka dibeli dengan harga murah. Baru kemudian muncul Budi Utomo sebagai gen kritisisme. Mereka kebanyakan memiliki pendidikan cukup dan menyadari kenapa hasil bumi mereka dibeli murah dibanding harga yang ada di dunia lainnya. Generasi berikutnya ada Kartini. Setelah semakin massif dan memiliki kesadaran nasionalisme, dan di NU ada Resolusi Jihad, Indonesia ini punya kita dan kita adalah yang berhak mengatur negara kita. Ini sangat fundamental dan monumental dalam memberika rasa nasionalisme hingga kemudian bisa merebut kemerdekaan dengan Sukarno sebagai presiden pertama.
Saat itu masih ada pertarungan sosialisme dan kapitalisme, sehingga Soekarno mengeluarkan NASAKOM sebagai penengah dua gerakan tersebut. Sejak saat Soekarno inilah muncul kembali gerakan perempuan. Seperti muslimat NU dan Gerwani. Namun, Gerwani dicap PKI. Padahal sebenarnya untuk melawan kapitalisme dengan reformasi agraria yang waktu itu sangat diperhitungkan dibanding gerakan lainnya. Karena konsolidasinya sangat massif dan sudah ada yang duduk di Belanda sebagai perwakilan perempuan Indonesia (Ibu Sujina, yang meninggal 2008).
Kemudian ternyata ada pemutusan gerakan perempuan di era pasca-Soekarno. Dengan lahirnya Soeharto sebagai wakil kapitalisme karena mereka merasa tidak bisa apa-apa ketika dipegang oleh Soekarno. Dengan lahirnya skenario kudeta ‘65, dengan memunculkan isu bahwa Soekarno adalah PKI.
Mereka (kaum kapitalis Barat) mengadu domba antara gologan abangan dan agamis, dan banyak kiai yang memerintahkan untuk membunuh orang PKI yang padahal banyak juga yang tidak masuk PKI. Kemudian mewacanakan Soeharto sebagai pahlawan.
Kedua, Fase Developmentalisme. Yang dalam kabinet Suharto berbentuk REPELITA dan melakukan MoU dengan IMF dan Bank Dunia dalam bentuk bantuan yang sebenarnya adalah hutang. Di sinilah kemudian Gerwani di PKI-kan dan juga melakukan pemberangusan terhadap gerakan perempuan lainnnya.
Mulai saat inilah perempuan takut melakukan gerakan. Karena ketakutan terhadap eksistensi Suharto. Di sinilah kemudian muncul double borden dari dampak dimunculkan Darma Wanita dan PKK dengan memberi wacana bahwa wanita puya tanggung jawab terhadap suami sehingga membatasi gerakan perempuan. Akhirnya karena situasi ini tidak efektif dengan munculnya banyak pejabat yang korup dan terbukalah kebobrokan yang lainya.
Ketiga, Fase Neoliberal (Globalisasi).Kelihatannya emang sangat fair, baik pejabat atau orang biasa silahkan berperan dalam arus global ini. Siapa yang kuat dia akan dapat. Tapi yang perlu diingat dalam system ini regulasi negara atau peran negara dibatasi. Semua diserahkan kepada pasar. Kita tahu pemodal ini sebenarnya siapa? Dan kita bisa membayangkan ketika kita dihadapkan dengan para pemodal. Saat ini negara tidak bisa memberikan regulasi tepat dengan munculnya mall-mall yang kemudian akan membunuh pasar tradisional. Akhirnya masih memberikan kesempatan kapitalisme untuk mencari keutungan sebesar-besarnya. Jadi satu sisi gender ini dibawa untuk pasar (komoditi) dengan banyaknya perempuan yang dijadikan media iklan sebagai bentuk pemasaran barang-barang kapitalisme. Dan persaingan terbuka ini mengikis rasa kekeluargaan di negara kita yang lama mengikis rasa kebangsaan kita.
Maka kita harus punya proteksi terhadap hal ini. Memang belum bisa menolaknnya dan juga tidak menerima sepenuhnya. Polarisasi gerakan perempuan hanya berdasarkan isu, maka ini juga berkaitan dengan founding, tidak kemudian mencoba sebenarnya kebutuhan kepentingan perempuan seperti apa sih? Dan hari ini belum ada organ yang bisa menyatukan itu. Ini adalah strategi bagaimana gerakan perempuan ini tidak menjadi besar. Jadi, ketika berbicara peradaban tidak lepas dari masyarakat dan ini berkait dengan kelompok dan kelompok ini juga berdasarkan keluarga yang pointnya ada pada seorang ibu. Jadi ibu ini sebenarnya sebagai kunci. Jadi apabila seorang perempuan hanya memiliki SDM yang rendah, akan mempengaruhi generasi selanjutnya.
Tentang gerakan perempuan dalam kapitalisme global ini, bagaimana caranya agar kita tidak terjebak dalam arus itu? Ini perlu melalui pendekatan budaya Indonesia juga masuk dalam kehidupan sehari-hari kita. Riil hari ini masyarakat cenderung taktis ini adalah strategi kapitalis. Kalau kita bertanya, orang yang cantik dan ganteng seperti apa? Jawabannya banyak yang tergantung, dan kita bisa menyimpulkan bahwa konsep ini tidak terlepas dari system kapitalisme global yang tidak terlepas dari produk-produk kapitalisme global.
Hampir semua aktifis perempuan sudah mafhum, bahwa gerakan perempuan secara historis adalah fenomena umum dari gejala maraknya berbagai gerakan sosial baru yang tumbuh sejak pertengahan abad lalu. Ia adalah respon dari kebuntuan gerakan Kiri Lama yang terkurung dalam politik kelas yang berakibat pada sikap acuh tak acuh terhadap realitas penindasan di dalam sub-sub kelas, seperti yang menimpa komunitas kulit hitam dan kaum perempuan.
Maklum saja, bagi Kiri Lama hanya ada dua kelas, kelas kapitalis sebagai kelompok penindas, dan kelas proletar sebagai kelompok tertindas. Dalam pandangan mereka (berbagi dengan Liberalisme, Kiri Lama masih menganut keyakinan rasionalitas Pencerahan yang meyakini “kemanusiaan yang sama dan universal”), kelas yang telah disebut terakhir ini adalah satu-satunya agen universal yang menjadi motor perubahan.
Refleksi semacam ini lahir di Eropa, sementara realitas peminggiran dan diskriminasi terhadap kaum perempuan adalah fenomena yang hampir merata di belahan dunia. Justeru karena dalam setiap refleksi bersifat partikular, parsial dan selalu ada jarak renggang dengan kenyataan, maka setiap basis dasar pengandaian dari sebuah refleksi mesti ditatap dengan mata kritis dan terbuka.
Apakah universalitas manusia –yang acuh tak acuh terhadap realitas diskriminasi dan peminggiran berdasarkan perbedaan budaya, agama, etnik, dan jenis kelamin, atau katakanlah perbedaan konteks struktur dasar masyarakat– adalah pengandaian yang cukup memadai sebagai basis gerakan kesetaraan kaum perempuan?
Di kalangan feminis progresif, dalam struktur dasar masyarakat yang patriarkis, kesetaraan universal adalah ilusi. Dan gerakan perempuan seyogyanya tidak lahir dari sebuah ilusi semacam itu. Gerakan perempuan harus lahir dari basis dasar kenyataan sosial yang konkrit. Kenyataan itu adalah perbedaan. Perbedaan budaya, mode ekonomi, nilai religi, kekuatan fisik, aspek psikologis dan biologis, dan seterusnya. Bukan perbedaan yang diingkari dan didiskriminasi, melainkan perbedaan yang dihargai dan dalam konteks yang bersifat relasional.
Di dalam politik perbedaan, butuh suatu strategi: politik ruang. Ruang yang didominasi oleh laki-laki tak banyak yang bisa diharapkan, baik akomodasi suara maupun sumberdaya. Ini realitas, bukan pengandaian. Berdasarkan alasan itu pula, kira-kira, dulu, Kiri Lama yang sudah impoten dan lesu itu harus menggantikan pandangan kelas universalnya dengan gerakan-gerakan sosial baru berbasis perbedaan. Dan Kiri Lama bermetamorfosis menjadi Kiri Baru.
C. KELEMBAGAAN KOPRI
PMII menyadari bahwa anggotanya perlu diberdayakan semaksimal mungkin. Selama ini kader putri PMII dirasa belum banyak yang diberi kesempatan untuk memaksimalkan potensinya, padahal jumlah anggota putri PMII terbilang banyak. Untuk itu, konstitusi PMII mensyaratkan keberadaan kader putri dalam setiap tingkatan kepengurusan PMII diberi kuota minimal 1/3 (dari PB sampai Rayon).
1. Landasan Normatif
Dalam Bab VII Anggaran Rumah Tangga (ART) PMII tentang Kuota Kepengurusan, Pasal 20 dinyatakan, ayat (1) Kepengurusan di setiap tingkat harus menempatkan anggota perempuan minimal 1/3 keseluruhan anggota pengurus; dan ayat (2) Setiap kegiatan PMII harus menempatkan anggota perempuan minimal 1/3 dari keseluruhan anggota.
Penjelasan soal pemberdayaan anggota perempuan PMII ada dalam bab VIII Pasal 21 ayat (1) Pemberdayaan Perempuan PMII diwujudkan dengan pembentukan wadah perempuan yaitu KOPRI (Korp PMII Putri), dan ayat (2) Wadah Perempuan tersebut diatas selanjutnya diataur dalam Peraturan Organisasi (PO).
Adapun wadah pemberdayaan anggota putri PMII ditegaskan dengan pembentukan lembaga khusus bernama Korp PMII Putri (KOPRI) sebagaimana dalam Bab IX tentang Wadah Perempuan. Dalam Pasal 22, ayat (1): Wadah perempuan bernama KOPRI; ayat (2) KOPRI adalah wadah perempuan yang didirikan oleh kader-kader Putri PMII melalui Kelompok Kerja sebagai keputusan Kongres PMII XIV; ayat (3) KOPRI didirikan pada 29 September 2003 di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta dan merupakan kelanjutan sejarah dari KOPRI yang didirikan pada 26 November 1967; dan ayat (4) KOPRI bersifat semi otonom dalam hubungannya dengan PMII.
Struktur KOPRI sebagaimana struktur PMII, terdiri dari : PB KOPRI, PKC KOPRI dan PC KOPRI.
2. Visi dan Misi KOPRI
Visi KOPRI adalah Terciptanya masyarakat yang berkeadilan berlandaskan kesetaraan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Sedangkan Misi KOPRI adalah Mengideologisasikan nilai keadilan gender dan mengkonsolidasikan gerakan perempuan di PMII untuk membangun masyarakat berkeadilan gender.
3. Perjalanan Sejarah KOPRI
Perjalanan sejarah organisasi yang bernama Korps PMII Putri yang disingkat KOPRI mengalami proses yang panjang dan dinamis. KOPRI berdiri pada kongres III PMII pada tanggal 7-11 Februari 1967 di Malang Jawa Timur dalam bentuk Departemen Keputrian dengan berkedudukan di Surabaya Jawa Timur dan lahir bersamaan Mukernas II PMII di Semarang Jawa Tengah pada tanggal 25 September 1976. Musyawarah Nasional pertama Korp PMII Putri diselenggarakan pada kongres IV PMII 1970.
KOPRI dari masa ke masa mengalami ketidakharmonisan karena minimnya koodinasi. Hanya pada saat Ali Masykur Musa (1991-1994) yang memiliki keharmonisan dengan Ketua KOPRI-nya dari Lampung (Jauharoh Haddad). KOPRI pada awalnya diposisikan menjadi badan otonom dari PMII namun sekarang menjadi semi otonom yang mana pimpinan KOPRI dipilih atau ditunjuk oleh Ketua Umum PB PMII. Konsekuensinya KOPRI harus berada di cabang-cabang di setiap daerah.
KOPRI mengalami keputusan yang pahit ketika status KOPRI dibubarkan melalui voting beda suara pada Kongres KOPRI VII atau PMII XIII di Medan pada tahun 2000. Merasa pengalaman pahit itu terasa, bahwa kader-kader perempuan PMII pasca konres di Medan mengalami stagnasi yang berkepanjangan dan tidak menentu, oleh sebab itu kader-kader perempuan PMII mengganggap perlu dibentuknya wadah kembali, kongres XIII di Kutai Kertanegara Kalimantan Timur pada tanggal 16-21 April 2003 sebagai momentum yang tepat untuk memprakarsai adanya wadah.
Maka, terbentuklah POKJA perempuan dan kemudian lahirlah kembali KOPRI di Jakarta pada tanggal 29 September 2003 karena semakin tajam semangat kader perempuan PMII maka pada kongres di Bogor tanggal 26-31 Mei tahun 2005 terjadi perbedaan kebutuhan maka terjadi voting atas status KOPRI denga suara terbanyak menyatakan KOPRI adalah Otonom sekaligus memilih ketua umum PB KOPRI secara langsung sehingga terpilih dalam kongres sahabati Ai’ maryati Shalihah. Dalam Kongres PMII ke-16 di Batam, Maret 2008, setelah melalui sidang dan voting yang menegangkan dan melelahkan hingga subuh, memutuskan status KOPRI Semi Otonom.
D. STRATEGI PENGEMBANGAN KOPRI
Korp PMII Putri, sebagai wadah kader perempuan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia meyakini perannya sebagai khalifatullah fil ardl dan keberadaannya akan menjadi rahmat bagi segenap alam. Karenanya keberadaan KOPRI harus bisa menjadi sesuatu yang bisa dirasakan kemanfaatannya tidak hanya oleh kader-kader PMII baik laki-laki maupun perempuan tetapi juga bagi seluruh Umat yang ada di bumi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Relasi PMII dan KOPRI sebenarnya tidak berbenturan, hanya secara gerakan, perempuan mempunyai wilayah sendiri. Hanya koordinasi yang sifatnya tidak begitu prinsip. Yang penting selama tidak bertentang ini harus tetap didukung. KOPRI menempatkan teori gender hanya sebagai analisa saja agar kita tidak terbelenggu dengan budaya patriarkal sehingga perempuan bisa menentukan gerakannya sesuai dengan kebutuhan perempuan tersebut. Wacana gender sebagai alat saja bukan sebagai tujuan. Dan wacana gender disesuaikan dengan wacana keislaman dan kearifan lokal.
Prosentase perempuan di setiap Mapaba PMII ada 60%. Cukup banyak namun dalam pengkaderan kita belum mumpuni mengggarapnya. Paling banter hanya bisa survive 5 kader di setiap cabang. Karena kita akhir-akhir ini kehilangan sosok-sosok kepemipinan perempuan di tingkat cabang, kota, dan kabupaten se-Jawa Tengah yang bisa berkomunikasi dengan PB dan basis.
Tugas utama KOPRI PMII adalah bagaimana mensinergikan kader perempuan PMII yang cukup banyak dengan wadah yang berbeda-beda. Yakni, sesuai dengan local genius yang berbeda di masing-masing cabang. Juga mensinergikan antara PB dan pengurus di bawahnya (PKC, PC, PK dan PR).
1. Strategi Pengembangan Internal
Strategi pengembangan organisasi KOPRI adalah dengan membentuk KOPRI di masing-masing cabang ke bawah. PKC PMII Jawa Tengah sudah mempeloporinya dengan mengadakan rembug perempuan Jawa Tengah skelaigus mencoba memberikan instruksi ke seluruh cabang, komisariat dan rayon untuk segera membentuk KOPRI.
Kader yang kuliah di basis kampus agama atau orang pesantren pada awalnya memang mengalami konflik terhadap wacana gender. Namun, kemudian mampu melakukan pembedahan tentang gender dan disesuaikan dengan basic keilmuannya ternyata ayat-ayat yang dipahami patriarkhi ternyata sangat memperjuangkan hak perempuan.
Strategi kaderisasi yang ditempuh KOPRI adalah: (1) Ideologisasi KOPRI; (2) Penguatan institusi. Dalam Kongres Bogor, KOPRI sebagai laboratorium gerakan sebagai institusi independent; (3) Mempertegas posisi; (4) Penguatan intelektual; (5) Membentuk masyarakat berkeadilan gender, dan (6) Konsolidasi gerakan. Seperti pertemuan hari ini merupakan salah satu bentuk konsolidasi gerakan perempuan
Bagaimana system dan format serta strategi kaderisasi yang direncanakan ke depan? Ada tiga hal yang hendak saya sampaikan: (1) Hakikat pengkaderan; (2) Strategi pengembangan kaderisasi, dan (3) System kaderisasi yang dibangun di level nasional.
Hakikat pengkaderan adalah kita punya alasan kenapa pengkaderan harus dijalankan di setiap organisasi; (1) Argumentasi Idealisme, diinterpretasikan melalui nilai-nilai yang harus selalu dikonsumsi oleh kader; (2) Argumentasi Strategis; diimplementasikan dalam pemberdayaan kader; (3) Argumnetasi Taktis; dengan tujuan memperbanyak kader. Dalam konteks organisasi kaderisasi harus seimbang antara kualitas dan kuantitas; (4) Argumentasi Pragmatis; karena adanya kepentingan dan persaingan kelompok; (5) Argumentasi Administrative; karena adanya mandat organisasi.
Terdapat 3 pilar dalam kaderisasi, yaitu: (1) Membentuk keyakinan kader; dalam konteks iman dan idiologis; (2) Pengetahuan; diinterpratasikan melalui ilmu; dan (3) Semangat gerakan; interpretasikan melalui skill.
Berbicara system kaderisasi KOPRI maka penting juga membuat modul. Muncullah resources gerakan dalam konteks ini kita memasukkan system kaderisasi KOPRI, baik formal, informal maupun nonformal.
Mengenai pelatihan gender kita juga sangat sepakat, agar lebih tertata dan lebih banyak yang didapat oleh kader perempuan. Apa yang belum digarap oleh PMII maka mari digarap melalui KOPRI. Misalnya, pelatihan TOF (Training of Fasilitator) tapi dengan menggunakan perspektif KOPRI.
Kita menawarkan bentuk kaderisasi di KOPRI, kita memasukkan materi – materi dalam modul MAPABA, PKD, PKL (studi gender dan institusi KOPRI).Di samping melalui pengkaderan formal di tingkat PKC juga memberikan pengenalan untuk mensinkronkan yang terjadi dicabang-cabang yang sifatnya pengayaan. Dengan PB PMII, sudah disepakati materi KOPRI juga bisa masuk dalam kaderisasi informal.
Hasil negosiasi antara KOPRI dengan PB PMII hari ini menemukan kesepakatan memasukkan materi KOPRI dalam kaderisasi formal PMII. Ini bagian dari publikasi KOPRI ke anggota PMII hingga level basis: cabang, komisariat dan rayon. Persoalan rekruitmen, persoalan legal atau tidak legal menjadi penting. Sangat sah jika kita melakukan perekrutan tidak formal. Jika kita melakukan rekrutment tersendiri kita harus pisah secara administrasi dari PMII atau berdiri sendiri membuat organisasi sendiri.
Untuk peningkatan capacity building di kalangan kader perempuan dan berbicara yang selama ini belum dilakukan yang tentunya lebih berperspektif, maka keberadaan modul sangat penting, seperti dalam folow-up Mapaba ada materi Training gender, SAS dan Trainig leadership, kemudian follow-up pasca-PKD ada Pelatihan Advokasi Gender dan Pelatihan Fasilitator, kemudian pasca-PKL ada ToT gender dan Gender Budgeting.
2. Strategi Gerakan Eksternal
Dalam konteks kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan, keberadaan KOPRI diharapkan mampu menjadi salah satu kelompok efektif yang aktif dalam memberikan tawaran-tawaran gerakan untuk mengurangi perosalan-persoalan yang muncul di masyarakat, misalnya persoalan HAM, Demokrasi, Globalisasi, Hukum, Pemerataan Ekonomi, Kebudayaan, Keberagamaan dan Pluralisme, lingkungan dan yang paling khusus adalan persoalan Gender. Isu Gender pada dasarnya menegaskan eksistensi individu baik laki-laki maupun perempuan.
Dalam gender ditegaskan bahwa setiap individu memiliki kemerdekaan untuk memilih dan menetukan nasibnya sendiri. Dan wacana gender memiliki imbas yang sangat dahsyat bagi perempuan. Sebagai contoh, kesadaran yang muncul dari pewacanaan gender yang ditangkap mentah-mentah membawa efek pada “tersedianya” perempuan keluar rumah dan bekerja di pabrik-pabrik. Perempuan bekerja (sebagai buruh pabrik) dianggap sebagai keberhasilan dari pewacanaan gender.
Padahal apa yang dilakukan perempuan di luar rumah pada dasarnya sama dengan yang mereka kerjakan didalam rumah (kerja-kerja yang khas perempuan seperti memasang kancing baju, menjahit, dan sejenisnya). Artinya, hanya memindahkan kerja domestik dari dalam rumah ke pabrik-pabrik atau perusahaan-perusahaan. Dan yang lebih parah, tingkat “penderitaan” yang diterima perempuan di luar rumah jauh lebih kejam dari dalam rumah dalam hal tertentu. Sedangkan di satu pihak yang lain, masyarakat masih juga menyimpan stigma buruk terhadap perempuan yang bekerja khususnya yang kerja malam atau sudah bersuami.
Apa yang ditulis di atas bukan berarti mewajibkan kita untuk mencurigai dengan membabi buta terhadap isu-isu seperti demokrasi dan HAM serta Gender. Tetapi kita harus sadar bahwa isu-isu yang kita anggap sebagai nilai-nilai yang harus kita perjuangkan itu ternyata memiliki efek yang juga merugikan tidak hanya bagi kita sebagai warga negara tetapi juga sebagai perempuan.
KOPRI melihat bahwa gender sebagai sebuah alat analisis mampu menjelaskan dengan lebih gamblang atas prosse-proses diskriminasi sosial dan hukum, subordinasi, pelabelan negatif, kekerasan fisik dan nonfisik, marjinalisasi ekonomi, dan beban ganda yang selama ini dialami perempuan. Ketidak adilan gender yang dialami perempuan tersebut menjelma dalam pelbagai bentuk seperti kebijakan-kebijakan pemerintah dalam segenap bidang, tradisi dan tafsir agama yang misoginis serta budaya-budaya populer yang merasuk lebih dalam dari agama ke dalam individu-individu.
Untuk itu, KOPRI akan selalu melakukan pembacaan kritis dan memiliki sensitifitas Gender dalam mensikapi produk-produk kebijkaan pemerintah dengan memberikan alternatif-alternatif berdasarkan tawaran gagasan yang lebih mengakar dan relevan dengan kepentingan masyarakat khususnya perempuan. Dan pembacaan yang kritis adalah pembacaan yang bersifat multidimensi dan berkelanjutan, karenanya KOPRI membutuhkan dukungan moral, politik sekaligus intelekutal khususnya dari PMII sebagai induk gerakan agar setiap pilihan gerakan yang diambil KOPRI nantinya akan saling menguatkan dan sinergis dengan grand design yang telah dirancang PMII dalam melihat persoalan masyarakat, negara dan dunia.
E. PENUTUP
Demikian sepintas pemaparan mengenai KOPRI dan strategi gerakan perempuan di Indonesia. Alternatif-alternatif gagasan yang mengakar dan relevan kepentingan perempuan, akan KOPRI munculkan dengan didahului oleh pembacaan persoalan tingkat lokal dengan sensitif dan argumentatif untuk kemudian ditarik menjadi kebutuhan-kebutuhan bersama ditingkat yang lebih luas. Sehingga KOPRI yang notabene merupakan sebuah intitusi pengkaderan berbasis kader perempuan di PMII tidak terjebak pada isu-isu sporadis yang menhabiskan energi dan mengaburkan tujuan organisasi dalam jangka panjang. Semoga ada manfaatnya. Wassalam.
GANTI HALAMA